04 October 2011

Perbandingan Konstitusi Indonesia & Jepang


BAB I
PENDAHULUAN
A. Pendahuluan

             Sejak peradaban bangsa Yunani studi mengenai Konstitusi (politeia) telah mulai berkembang. Hal ini merupakan sebuah konsekuensi logis dari kultur masyarakatnya yang sangat memiliki perhatian terhadap negara. Demokrasi klasik yang menjadi sistem dalam menjalankan pemerintahan telah lebih dikenal di negara ini. Meskipun pada waktu itu Yunani masih berbentuk negara Polis (kota). Juga didukung dengan jalur perdagangan antar negara yang membuat masyarakat Yunani banyak bersentuhan dengan kultur negara lain. Socrates seorang filosof dan ahli negara dari Yunani mengemukakan ajarannya mengenai Kostitusi dalam bukunya yang berjudul Panatheinaicus. Begitu pula dengan muridnya yang bernama Plato juga mengajarkan hal yang sama dalam buku yang berjudul Nomoi serta Aristoteles dalam bukunya yang berjudul Politics.


Pasca Perang Dunia Kedua studi mengenai Konstitusi di negara Asia dan Afrika mulai mengalami perkembangan yang ditandai dengan adanya proses dekolonisasi. Hal ini sesuai dengan perkembangan kehidupan di lingkungan masing-masing. Di negara Indonesia pada tahun 1945 para tokoh-tokoh pergerakan menyusun sebuah naskah konstitusi sebagai bentuk persiapan kemerdekaan dan sebagai negara yang berdaulat. Naskah inilah yang kemudian kita kenal dengan nama Undang-Undang Dasar 1945 yang memuat berbagai hal terutama mengenai penataan kehidupan kenegaraan kita.
Perbincangan mengenai Konstitusi di Indonesia lebih dikenal dengan nama Hukum Tata Negara. Dan dalam konteks studi dan pendidikan hukum maka Hukum Tata Negara merupakan sebuah hal wajib bagi mahasiswa hukum. Karena perlu dipahami bahwa Undang-Undang Dasar merupakan acuan bagi seluruh produk hukum yang ada.
Jika kita melihat secara konfrehensif maka sebenarnya konstitusi Indonesia memiliki ciri yang berbeda dengan negara-negara Barat. Terutama mengenai dasar-dasar bagi kehidupan sosial,ekonomi dan kebudayaan yang dimuat dengan jelas dalam UUD 1945, sedangkan di negara-negara barat hanya menekankan pada persoalan politik.
Sejarah perkembangan Konstitusi Indonesia sejak zaman kemerdekaan sampai dengan masa dimana reformasi menjadi sebuah spririt bangsa cukup mengalami sebuah dinamisasi. Hal yang perlu dicatat adalah bahwa telah terjadi beberapa upaya (i) pembentukan Undang-Undang Dasar (ii) penggantian Undang-Undang Dasar (iii) perubahan Undang-Undang Dasar.
Pada tahun 1945 Undang Undang Dasar 1945 dibentuk dan disusun oleh Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang kemudian dijadikan sebagai hukum dasar negara yang kemerdekaannya diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945. Ketika bentuk Negara Republik Indonesia diubah menjadi Negara Serikat (Federal) pada tahun 1949 maka diadakan penggantian konstitusi dari Undang-Undang Dasar 1945 ke Konstitusi Republik Indonesia Serikat Tahun 1949. Pada tahun 1950 kembali diadakan penggantian dari Konstitusi Republik Indonesia Serikat ke Undang-Undang Dasar Sementara 1950 dengan bentuk Negara Kesatuan. Kemudian mulailah diadakan upaya untuk menyusun Konstitusi dengan jalan dibentuk lembaga yang bertanggung jawab untuk itu. Lembaga Konstituante yang kemudian mengadakan persidangan cukup panjang panjang ternyata gagal menyusun konstitusi tersebut dan akhirnya dibubarkan dengan sebuah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan Undang-Undang Dasar 1945 diberlakukan kembali.
Perubahan dalam arti pembaruan terhadap Konstitusi baru terjadi pada masa reformasi yaitu tahun 1998. Perubahan pertama pada tahun 1999, perubahan kedua pada tahun 2000, perubahan ketiga pada tahun 2001 dan perubahan keempat pada tahun 2002.
Perubahan terhadap Undang-Undang Dasar 1945 yang dilakukan sebanyak empat kali menyebabkan perubahan yang sangat mendasar terhadap sistem ketatanegaran Indonesia. Oleh karena itu dalam tulisan ini penulis mencoba untuk memberikan gambaran perbandingan Konstitusi antara Indonesia dan  Jepang.
B. Rumusan Masalah
            Untuk memahami lebih jelas mengenai arah penguatan tulisan ini maka dalam makalah ini penulis membuat rumusan masalah yang nantinya akan dibahas yaitu :
  1. Bagaimana perbandingan Bentuk Negara antara Indonesia dan Jepang
  2. Bagaimana perbandingan Sistem Pemerintahan antara Indonesia dan Jepang
  3. Bagaimana perbandingan Bentuk Parlemen antara Indonesia dan Jepang
 C. Tujuan
            Adapun yang menjadi tujuan penulisan makalah ini adalah
1.   Untuk mengetahui bagaimana perbandingan Bentuk Negara antara Indonesia dan Jepang
  1. Untuk mengetahui bagaimana perbandingan Sistem Pemerintahan antara Indonesia dan Jepang
  2. Untuk mengetahui bagaimana perbandingan Bentuk Parlemen antara Indonesia dan Jepang
 
BAB II
PEMBAHASAN

A. Klasifikasi Bentuk Negara
1.    Negara Kesatuan
Menurut C.F Strong negara kesatuan adalah negara yang diorganisir di bawah satu pemerintahan pusat. Artinya, kekuasaan apapun yang dimiliki oleh berbagai distrik di dalam wilayah yang dikelola sebagai suatu keseluruhan oleh pemerintah pusat harus diselenggarakan menurut kebijakan pemerintah itu.
Negara Kesatuan dapat pula disebut Negara Unitaris. Jika ditinjau dari segi susunannya maka memang susunanya bersifat tunggal, artinya Negara Kesatuan itu adalah negara yang tidak tersusun dari beberapa negara bagian melainkan hanya terdiri atas satu negara saja. Pada XVII maupun abad XVIII pada jaman hukum alam kekuasaan para penguasa pada umumnya menggunakan dua asas yaitu :
    1. Asas Sentralisasi, bahwa segala kekuasaan dan urusan pemerintahan adalah milik  Pemerintah Pusat
    2. Asas Konsentrasi, bahwa segala kekuasaan dan urusan pemerintahan adalah dilaksanakan sendiri oleh Pemerintah Pusat
Pada masa itu sebenarnya telah lahir berbagai teori dari beberapa pakar kenegaraan yang mencoba untuk membatasi kekuasaan penguasa yang absolut. Diantaranya adalah Jhon Locke dengan ajaran hak asasi manusia, Montesquieu dengan ajaran Trias Politika, J.J Rousseau dengan ajaran kedaulatan rakyat, Immanuel Kant dengan ajaran tentang kedaulatan rakyat serta Maurice Duverger dengan ajaran tentang pemilihan dan pengangkatan para penguasa.
Dengan perkembangan yang semakin pesat serta tuntutan demokratisasi  di berbagai nagara yang memiliki efek bola salju bagi negara yang lain akhirnya asas dekonsentrasi dan asas desentralisasi dapat menggeser kekuatan penguasa yang sangat absolut.
Momen yang paling penting bagi perkembangan demokrasi di dunia ini adalah ketika terjadinya revolusi Perancis yang disebut sebagai gelombang demokratisasi pertama oleh Samuel P.Huntington.
Dalam perkembangannya dewasa ini asas dekonsentrasi pada pelaksanaanya telah melahirkan pembagian wilayah dalam konteks administrasi. Sehingga pelaksanaan pemerintahan tidak lagi bersifat terpusat.
Selanjutnya pelaksanaan asas desentralisasi kemudian melahirkan daerah-daerah otonom, yaitu suatu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah tertentu yang berhak, berwenang, dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.  
2. Negara Federal
      Menurut Soehino, Negara Federal adalah negara yang bersusun jamak, maksudnya  negara ini tersusun dari beberapa negara yang semula telah berdiri sendiri senagai negara yang merdeka dan berdaulat, mempunyai Undang-Undang sendiri serta pemerintahan sendiri, tetapi karena sesuatu kepentingan entah kepentingan politik, ekonomi atau kepentingan lainnya, negara-negara tersebut saling menggabungkan diri untuk membentuk suatu ikatan kerja sama yang efektif. Ikatan kerja sama inilah yang kemudian disebut dengan Negara Federal dengan Pemerintahan yang disebut Pemerintah Federal. Jadi konsep yang digunakan dalam negara Federal adalah :
a.       Ada Negara Federal atau Negara Gabungan  dan Negara-Negara Bagian
b.      Ada Pemerintah Negara Federal dan Pemerintah Negara-Negara Bagian
c.       Ada Undang-Undang Dasar Negara Federal dan Undang-Undang Dasar Negara Bagian
B. Klasifikasi Sistem Pemerintahan
1. Sistem Parlementer
            Sistem pemerintahan parlementer banyak diterapkan di benua Eropa serta dibeberapa negara Asia. Dalam sistem parlementer dibedakan serta dilakukan pemisahan antara kepala negara dan kepala pemerintahan. Sehingga yang biasanya bertindak sebagai kepala negara adalah Kaisaratau Presiden sedangkan yang bertindak sebagai kepala pemerintahan adalah Perdana Menteri. Perdana Menteri dipilih dalam pemilihan umum namun tidak secara lansung, melainkan terpilih adalah anggota parlemen serta menguasai  mayoritas kursi parlemen. Parlemen dapat menjatuhkan Presiden serta membubarkan kabinet.
 
2. Sistem Presidensil
            Beberapa ciri sistem pemerintahan presidensil yaitu :
  • Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara lansung oleh rakyat ataupun melalui mekanisme perantara tertentu yang tidak bersifat permanen seperti halnya sistem parlementer.
  • Karena dipilih secara langsung oleh rakyat maka Presiden dan Wakil Presiden tidak bertanggungjawab terhadap parlemen melainkan bertangungjawab langsung kapada rakyat.
  • Presiden dan Wakil Presiden hanya dapat diberhentikan jika melakukan pelanggaran hukum yang biasanya dibatasi pada kasus-kasus tindak pidana tertentu dan jika dibiarkan akan menimbulkan masalah hukum yang serius.
  • Masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden ditentukan dengan jelas, sehingga Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat diberhentikan di tengah masa jabatannya karena alasan politis. Biasanya masa jabatan ini dibatasi hanya untuk 1 kali masa jabatan atau 2 kali masa jabatan berturut-turut.
  • Dalam hubungannya dengan lembaga parlemen, Presiden tidak tunduk kepada parlemen, tidak dapat membubarkan parlemen. Sebaliknya parlemen tidak dapat menjatuhkan Presiden dan membubarkan kabinet.
  • Dalam sistem presidensil tidak dikenal adanya pembedaan antara fumgsi kepala negara dan kepala pemerintahan. Tanggungjawab pemerintahan ada ditangan Presiden dan oleh karena itu Presidenlah yang berwenang membentuk pemerintahan, menyusun kabinet, mengangkat dan memberhentikan para Menteri serta pejabat-pejabat publik.
C. Klasifikasi Bentuk Parlemen
1. Sistem Unikameral (Satu Kamar)
             Dalam sistem unicameral (satu kamar) tidak dikenal adanya  dua badan yang terpisah seperti DPR dan senat atau Majelis Tinggi dan Majelis rendah. Namun perlu diketahui bahwa banyak negara yang menerapakan konsep struktur parlemen ini. Negara-negara yang kecil dengan kondisi konfigurasi politik yang cnderung lebih homogen banyak mengadopsi sistem ini. Alasan memilih sistem ini adalah mengenai keseimbangan politik. Sangat berbeda jika diterapkan pada negara besar yang sangat memiliki konfigursai politik yang heterogen.
Pada negara-negara sosialis dipandang bahwa jika menerapakan sistem bicameral justru menimbulkan biaya yang besar serta sangat sedikit kompensasi atau keuntungan yang didapatkan.
            Fungsi dewan atau Majelis Legislatif pada sistem unicameral terpusat pada satu badan legislatif tertinggi dalam struktur negara. Fungsi parlemen pada beberapa negara berbeda-beda, namun pada pokoknya bahwa secara kelembagaan fungsi legislatif tertinggi ada pada satu lembaga saja.
2. Sistem Bikameral (Dua Kamar)
            Istilah bikameral biasa dikenal dengan nama second chamber  atau Upper Hous, di berbagai negara dikenal dengan variasi nama yang bermacam-macam, sbagai contoh di Inggris dikenal dengan nama Council of State, di Jerman dikenal dengan nama Bundersat, di Malaysia dikenal dengan nama Dewan Negara dan sebagian besar seperti di Australia, Amerika Serikat, Kanada, Perancis, masing-masing dinamakan Senate.
            Biasanya alasan yang mendasari pemilihan sistem bicameral ada dua hal. Alasan pertama adalah untuk membangun sebuah mekanisme pengawasan dan keseimbangan (checks and balances) serta untuk pembahasan sekali lagi dalam bidang legislatif. Kedua adalah untuk membentuk perwakilan untuk menampung kepentingan tertentu yang biasanya tidak cukup terwakili oleh majelis pertama. Secara khusus, bikameralisme telah digunakan untuk menjamin perwakilan yang memadai untuk daerah-daerah di dalam lembaga legislatif. Hasil kesenjangan representasi di majelis kedua amat bervariasi di dalam berbagai sistem di dunia.    
D.  Perbandingan Bentuk Negara Indonesia dan Jepang
1.      Bentuk Negara Indonesia
Perkembangan Konstitusi Indonesia sejak zaman kemerdekaan sampai sekarang yang diwarnai dengan sentuhan perubahan bahkan penggantian tentunya memiliki konsekuensi logis terhadap bentuk negara Indonesia. Dalam rumusan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang sampai hari ini tidak mengalami perubahan menyebutkan : “Negara Indonesia ialah negara kesatuan yang berbentuk republik” hal ini menunjukkan bahwa sejak awal penyusunan konstitusi ini The Founding Fathers Indonesia menekankan bahwa hakikat negara Indonesia adalah negara Kesatuan.
            Kekalahan pihak Jepang dari Sekutu pada akhir perang dunia kedua dimanfaatkan oleh pihak Belanda untuk kembali menjajah Indonesia. Namun taktik yang dilakukan Belanda adalah dengan jalan melakukan adu domba untuk memecah bangsa Indonesia. Pemerintah Belanda membantu berdirinya negara-negara kecil di wuilayah Indonesia. Seperti Negara Sumatera, Negara Pasundan, Negara Indonesia Timur dan sebagainya. Hal ini diukuti dengan Agresi militer Belanda pada tahun 1947 dan tahun 1948. Masalah ini kemudian menjadi penyebab diadakannya Konfrensi Meja Bundar yang berhasil menyepakati tiga hal yaitu :
1.      Mendirikan Negara Republik Indonesia Serikat
2.      Penyerahan Kedaulatan kepada RIS yang berisi tiga hal, yaitu (a) piagam penyerahan kedaulatan dari Kerajaan Belanda kepada Pemerintah RIS; (b) status uni; dan (c) persetujuan perpindahan.
3.      Mendirikan uni antara Republik Indonesia Serikat dengan Kerajaan Belanda.
      Konsekuensi dari hasil Konperensi Meja Bundar tersebut adalah disusunnya Konstitusi secara bersama-sama antara Republik Indonesia Serikat dengan Bijeenkomst voor Federal Overleg (B.F.O). Konstitusi RIS mulai berlaku pada tanggal 27 Desember 1949. Dengan berdirinya negara Republik Indonesia Serikat berdasarkan Konstituis RIS tahun 1949 wilayah Republik Indonesia masih tetap ada namun merupakan negara bagian dari negara federal Republik Indonesia Serikat. Pada saat itulah negara Indonesia menggunakan konsep negara federal dan meninggalkan bentuk negara kesatuan.
      Namun bentuk negara federal dipandang sangat merugikan bagi pemerintah Republik Indonesia karena dianggap sangat sarat dengan kepentingan politik Belanda. Apalagi negara Indonesia adalah negara yang baru saja terbentuk dan memerlukan tahap konsolidasi yang baik. Meskipun ada kesesuaian antara konsep negara federal dengan kondisi sosio kultural Indonesia tetapi hal ini dilatarbelakangi dengan kepentingan pemerintah Belanda.
      Bentuk negara federal akhirnya tidak dapat bertahan lama. Wibawa negara Republik Indonesia Serikat mulai runtuh ketika ada konsolidasi antara Negara Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur dan Negara Sumatera Timur untuk menyatu dalam satu wilayah negara Republik Indonesia. Akhirnya dicapailah kesepakatan antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Pemerintah Republik Indonesia Serikat untuk kembali bersatu mendirikan negara kesatuan Republik Indonesia. Kesepakatan ini tertuang dalam naskah persetujuan bersama pada tanggal 19 Mei 1950. Inti dari kesepakatan itu adalah menyepakati diobentuknya kembali NKRI sebagai kelanjutan dari negara  kesatuan yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945. Konstitusi RIS diganti dengan Undang-Undang Dasar Sementara 1950. Karena gagalnya konstituante menyusun Konstitusi untuk menggantikan UUDS 1950, akhirnya Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit pada tanggal 5 Juli 1959 yang menyatakan berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945.
      Sejak itulah sampai sekarang Indonesia kembali menggunakan bentuk negara kesatuan. Bahkan pada saat diadakan perubahan yang keempat terhadap Undang-Undang Dasar 1945 yang ditetapkan pada tanggal 10 Agustus 2002 ditegaskan pada Pasal 37 ayat (5) yang menyebutkan : “Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan”.
      Secara sosio kultural dan geografis sebenarnya negara Indonesia sangat cocok dengan bentuk negara federal. Namun karena pengalaman yang buruk dengan sistem federal, ditambah lagi dengan gelombang disintegrasi yang kuat membuat para legislator di MPR mempertegas dalam UUD 1945 untuk tidak diperbolehkanya perubahan terhadap bentuk negara kesatuan. Untuk mencegah gerakan disintegrasi tersebut maka diberlakukanlah konsep Otonomi Daerah dengan landasan hukum yaitu UU Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian direvisi menjadi UU Nomor 32 Tahun 2004. Konsep ini pada intinya ada dua hal yaitu pelaksanaan Desentralisasi dan Dekonsentrasi. Jika kita meninjau secara akademis terhadap konsep otonomi daerah yang diterapkan di negara Indonesia dengan landasan UU Nomor 32 Tahun 2004 maka sebenarnya ada muatan konsep federalistis yang tertuang di dalamnya. Menurut  Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. bahwa dalam sistem federal, kekuasaan asli atau kekuasaan sisa (residual power) berada di pusat, sedangkan dalam sistem negara kesatuan (unitary), kekuasaan asli atau kekuasaan sisa itu berada di daerah. Pada UU Nomor 32 Tahun 2004 justru kekuasaan sisa tersebut menjadi milik pusat yang merupakan ciri khas bentuk negara federal.
2.    Bentuk Negara Jepang
            Secara geografis Jepang terbilang negara cukup yang kecil, yang mana terdiri dari beberapa pulau dan terletak disebelah timur Cina. Sehingga wajar jika Jepang menggunakan konsep bentuk negara Kesatuan. Layaknya beberapa negara kesatuan yang lain meskipun Jepang terdiri atas beberapa Propinsi namun tetap merupakan satu kesatuan dengan pusat pemerintahan yang satu pula. Propinsi-propinsi tersebut dipimpin oleh Gubernur sebagai kepala pemerintahan dan bertanggung jawab terhadap Perdana Menteri. Pelaksanaan pemerintahan di daerah menganut sistem otonomi daerah seperti yang dipraktekan di Indonesia yang diatur dengan jelas dalam Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 yaitu :
(1)   Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.
(2)   Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asa otonomi dan tugas pembantuan.

Pada konstitusi Jepang hal ini juga diatur dalam Chapter VIII. tentang  Local Self-Government
Article 92 :
Regulations concerning organization and operations of local public entities shall be fixed by law in accordance with the principle of local autonomy.

Pada article ini ditentukan bahwa Peraturan tentang organisasi dan operasi dari lembaga publik lokal harus ditetapkan oleh hukum sesuai dengan prinsip otonomi daerah. Selanjutnya hal ini dipertegas pula pada article 94 yaitu :
Local public entities shall have the right to manage their property, affairs and administration and to enact their own regulations within law.

Bahwa lembaga publik lokal berhak untuk mengelola harta mereka, dan urusan administrasi dan menetapkan ketentuan mereka sendiri dalam hukum. Sehingga dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terdapat persamaan pada konstitusi Indonesia dan Jepang khususnya hal yang mengatur mengenai bentuk negara dan pemerintahan daerah.

E.     Perbandingan Sistem Pemerintahan Indonesia dan Jepang
1.    Sistem Pemerintahan Indonesia
Penduduk Indonesia menempati urutan keempat terbesar di dunia. Juga dengan komposisi yang beragam. Berbagai suku bangsa, etnisitas serta anutan agama. Wilayahnyapun sangat luas, kurang lebih 17.000 pulau besar dan kecil. Kompleksitas serta keragaman ini sangat menentukan konfigurasi politik dalam masyarakat. Dengan kondisi tersebut maka tidak dapat dihindari jika sistem multi-partai menjadi pilihan terbaik bagi demokratsisasi di Indonesia. Asumsi inilah yang kemudian menjadi alasan untuk menggunakan sistem parlementer dalam pemerintahan sebagai bentuk terjemahan dalam menyalurkan kekuatan politik sebagai prosedur demokrasi.
      Namun perlu diingat bahwa ternyata bangsa Indonesia memiliki pengalaman yang buruk dengan sistem Parlementer.  Realitas kondisi sosial politik serta keadaan geografis yang ada justru membutuhkan sebuah sistem pemerintahan yang kuat dan stabil. Jika pada masa orde baru, pemerintahan presidensil Indonesia sangat otoriter dengan konsep executive heavy. Maka dengan adanya perubahan terhadap Undang-Undanga Dasar 1945 hal tersebut tidak lagi menjadi masalah. Karena telah diadakan perubahan yang sangat radikal terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia. Sistem presidensil justru dipertegas untuk lebih menjamin stabilitas pemerintahan. Sistem ini juga dapat dipraktekkan dengan tetap menerapkan sistem multi-partai untuk mengakomodasi peta konfigurasi politik yang ada serta dikawal dengan prinsip konstitusional guna mengurangi dampak negatif dari sistem presidensil.
      Dalam sistem presidensil, presiden dan wakil presiden merupakan satu intitusi penyelenggara kekuasaan eksekutif negara yang tertinggi di bawah Undang-Undang Dasar. Sistem presidensil tidak mengenal dan tidak perlu dibedakan adanya kepala negara dan kepala pemerintahan.
      Presiden dan Wakil Presiden di pilih secara langsung, dan karena itu secara politik tidak bertanggung jawab kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, melainkan bertanggung jawab langsung kepada rakyat yang memilihnya. Pada Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 6A ayat (1) menyebutkan bahwa : “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat “.
      Presiden dan Wakil Presiden dapat dimintakan pertangungjawabannya secara hukum apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum dan konstitusi. Dalam hal demikian, Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat dituntut pertanggungjawaban oleh Dewan Perwakilan Rakyat untuk disidangkan dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat, yaitu sidang gabungan antara Dewan Perwakilan  Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah, menurut prosedur hukum tata negara. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 7A yang menyebutkan bahwa :
 “Presiden dan Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan /atau Wakil Presiden”.

      Jika terjadi kekosongan dalam jabatan Presiden atau Wakil Presiden pengisiannya dapat dilakukan melalui pemilihan dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat. Namun hal ini tidak mengubah prinsip pertanggungjawaban Presiden kepada rakyat dan tidak kepada parlemen. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 8 ayat (2) dan (3).
      Para Menteri adalah pembantu Presiden dan Wakil Presiden. Menteri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, dan karena itu bertanggungjawab kepada Presiden tidak kepada parlemen. Namun, pentingnya kedudukan para Menteri tersebut maka dalam hal mengangkat Menteri Presiden harus memperhatikan pendapat Dewan Perwakilan Rakyat. Bahkan dalam hal penyusunan kabinet dan jumlah menteri yang diangkat, karena berkaitan dengan Anggaran Pendapat dan Belanja Negara.
      Untuk membatasi kekuasaan Presiden yang kedudukannya dalam sistem presidensil sangat kuat sesuai dengan kebutuhan untuk menjamin stabilitas pemerintahan, ditentukan pula bahwa masa jabatan Presiden lima tahunan tidak boleh dijabat oleh orang yang sama lebih dari dua masa jabatan. Meskipun pada prakteknya masih ada kecenderungan negara Indonesia menerapkan beberapa hal yang berciri sistem pemerintahan parlementer, namun secara umum jika melihat apa yang ditur dalam UUD1945 maka dapat disimpulkan bahwa Indonesia menganut sistem pemerintahan Presidensil.
2.    Sistem Pemerintahan Jepang
Salah satu hal yang menjadi ciri khas negara yang menganut sistem pemerintahan Parlementer adalah apabila Kepala Pemerintahan negara tersebut dipilih oleh Parlemen dan bertanggung jawab langsung kepada Parlemen, serta adanya pemisahan yang tegas antara kepala negara dan kepala pemerintahan. Hal ini senada dengan apa yang diterapkan di Jepang. Seperti yang diatur dalam konstitusi Jepang pada CHAPTER I. THE EMPEROR Article 1, Article 4 ayat (1) dan Article 66 ayat (1) yaitu :
Article 1
The Emperor shall be the symbol of the State and of the unity of the people, deriving his position from the will of the people with whom resides sovereign power.
Article 4
1.      The Emperor shall perform only such acts in matters of state as are provided for in the Constitution and he shall not have powers related to government.
Article 6
1.      The Emperor shall appoint the Prime Minister as designated by the Diet.
2.      The Emperor shall appoint the Chief Judge of the Supreme Court as designated by the Cabinet.

Article 66
1.      The Cabinet shall consist of the Prime Minister, who shall be its head, and other Ministers of State, as provided for by law.

Bahwa Kaisar adalah simbol negara dan kesatuan rakyat, yang kedudukannya berasal dari rakyat dimana kekuasaan kedaulatan itu berasal dari rakyat. Bahwa Kaisar hanya akan melakukan tindakan sebagaimana yang diatur dalam Konstitusi dan ia tidak akan memiliki kekuasaan yang terkait dengan pemerintah. Kaisar akan mengangkat Perdana Menteri yang ditunjuk oleh Diet (Parlemen). Kaisar harus menunjuk Hakim Ketua Mahkamah Agung yang ditetapkan oleh Kabinet.  
Bahwa Kabinet terdiri dari Perdana Menteri, yang akan menjadi kepala, dan Menteri Negara, sebagaimana ditentukan oleh hukum.
Selanjutnya juga ditentukan bahwa Perdana Menteri Jepang merupakan anggota Parlemen  yang kemudian memenangkan pemilihan di Parlemen. Menteri-menteri diangkat oleh Perdana menteri yang kemudian menyatu dalam Kabinet. Kabinet ini bertanggung jawab kepada Parlemen. Menteri-menteri yang diangkat oleh Perdana Menteri biasanya kebanyakan berasal dari anggota parlemen, namun dapat berasal dari luar Parlemen. Sebagaimana diatur dalam Article 66 ayat (3) dan Artile 67 ayat (1), serta Article 68 ayat (1), ayat (2) dan (3) Konsitusi Jepang, yaitu :
Article 66
The Cabinet, in the exercise of executive power, shall be collectively responsible to the Diet.
Article 67
1.      The Prime Minister shall be designated from among the members of the Diet by a resolution of the Diet. This designation shall precede all other business.
Article 68
1.      The Prime Minister shall appoint the Ministers of State.
2.      However, a majority of their number must be chosen from among the members of the Diet.
3.      The Prime Minister may remove the Ministers of State as he chooses.
Kemungkinan krisis kabinet diatur dalam Undang-Undang Dasar, dalam hal mana terdapat dua kemungkinan, yaitu kabinet mengundurkan diri atau Dewan Perwakilan Rakyat dibubarkan. Apabila Dewan Perwakilan Rakyat mengajukan mosi tidak percaya terhadap kabinet atau menolak mosi kepercayaan yang diberikan kepadanya, maka kabinet seluruhnya harus mengundurkan diri, kecuali jika Dewan Perwakilan Rakyat dibubarkan dalam waktu 10 hari. Hal ini sesuai dengan Article 69 Konstitusi Jepang yaitu :
Article 69
If the House of Representatives passes a non-confidence resolution, or rejects a confidence resolution, the Cabinet shall resign en masse, unless the House of Representatives is dissolved within ten (10) days.

Keberadaan Kaisar dalam struktur kekuasaan tetap diakui, namun Kaisar hanya dapat bertindak sesuai dengan nasehat dan dengan persetujuan kabinet, serta meliputi hal-hal yang diatur dalam Undang-Undang Dasar. Kaisartidak memiliki kekuasaan yang bersangkut paut dengan Pemerintahan. Sesuai dengan Pasal Article 1, Article 3 dan Article 4 Konstitusi Jepang.
F. Perbandingan Bentuk Parlemen Indonesia dan Jepang.
1. Bentuk Parlemen Indonesia
Ada tiga konsep yang diadopsi dalam perubahan UUD 1945 yang sangat erat hubungannya dengan keberadaan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Pertama, pemisahan kekuasaan secara tegas dari cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan judikatif. Kedua, pemilihan Presiden secara langsung yang akan berkaitan dengan konsep pertanggungjawaban Presiden langsung kepada rakyat. Ketiga, restrukturisasi parlemen menjadi dua kamar (bicameral) dalam rangka menampung aspirasi daerah-daerah yang terus berkembang menjadi makin otonom di masa mendatang.
Dengan diterimanya ketiga gagasan tersebut menjadi bagian dari materi UUD, maka tidak dapat lagi dipertahankan bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah lembaga tertinggi. Hanya saja MPR tetap merupakan sebuah institusi tersendiri selain DPR dan DPD. Hal ini ditandai dengan kewenangannya seperti mengubah UUD, memilih Presiden dan/atau Wakil Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Presiden dan/atau Wakil Presiden, melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden, serta kewenangan memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD.
Pada pokoknya, kedaulatan rakyat Indonesia disalurkan sebagaimana mestinya melalui lembaga parlemen yang terdiri atas Majelis Permusyawaratan Rakyat yang terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD, dan DPR serta DPD itu sendiri.
Setelah perubahan Undang-Undang Dasar 1945 yang ketiga, parlemen Indonesia mengadopsi sistem yang berbentuk dua kamar yang ditandai dengan dibentuknya Dewan Perwakilan Daerah. Ketentuan mengenai Dewan Perwakilan Daerah diatur dalam Pasal 22C dan 22D, sedangkan ketentuan mengenai Dewan Perwakilan Rakyat diatur dalam Pasal 20. Keduanya secara bersama-sama dapat disebut sebagai Majelis Perwakilan Rakyat.
Perbedaan keduanya terletak pada hakikat kepentingan yang diwakilinya masing-masing. Dewan Perwakilan Rakyat dimaksudkan untuk mewakili rakayat, sedangkan Deawan Perwakilan Daerah dimaksudkan untuk mewakili daerah-daerah.
Jika kita menelaah dengan cermat hasil perubahan UUD 1945 yang ketiga, maka kita akan menemukan bahwa pada sistem parlemen Indonesia menggunakan konsep Soft Bicameralism. Hal ini melenceng dari kecenderungan yang berkembang di dunia secara umum. Kebanyakan negara yang menggunakan sistem dua kamar lebih menerapkan konsep Strong Bicameral. Hal ini berarti bahwa ada keseimbangan kekuatan antara kedua kamar. Namun di Indonesia Dewan Perwakilam Rakyat memiliki kekuasaan yang sangat dominan dibanding Dewan Perwakilan Daerah. Dalam Pasal 22D ayat (1), (2) dan (3) dinyatakan :
a.      Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada DPR rancangan Undang- Undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
b.      Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan Undang Undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daeara; pengelolaan sumber daya alam, sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan pusat dan daerah, serta memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan Undang-Undang anggaran pendapatan dan belanja negara, dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama.
c.  Dewan Perwakilan Daerah dapat melalukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.

Dengan ketentuan demikian, jelas bahwa kewenangan Dewan Perwakilan Daerah bersifat terbatas. Dalam kaitannya dengan fungsi legislasi, misalnya, Dewan Perwakilan Daerah  hanya memberikan pertimbangan terhadap Dewan Perwakilan Rakyat sebagai pemegang kekuasaan legislatif yang sesungguhnya. Seperti ditentukan dalam Pasal 22C ayat (2) Perubahan Ketiga UUD 1945, jumlah anggota Dewan Perwakilan Daerah itu hanya  sepertiga jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Dewan Perwakilan Rakyat diatur dalam Bab VII Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21 dan Pasal 22 UUD 1945. Pasal 19 ayat (1) Anggota Dewan Perwakioan Rakyat dipilih melalui pemilihan umum. (2) Susunan Dewan Perwakilan Rakyat diatur dengan undang-undang. (3) Dewan Perwakilan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam setahun. Selanjutnya dalam Pasal 20 disebutkan :
(1)  Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membetuk undang-undang
(2)  Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.
(3)  Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu
(4)  Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.   
 
Selain itu, dalam perubahan Kedua UUD 1945, ditambahkan lagi ketentuan Pasal 20A yang berisi 4 ayat sebagai berikut :
(1) Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan.
(2) Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat.
(3)  Selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampikan usul dan pendapat, serta hak imunitas.
(4)  Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undag diatur dengan undang-undang.  
Pasal 21 ayat (1) disebutkan bahwa : “Anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan usul rancangan undang-undang”. Kemudian dalam ayat (2) Pasal ini disebutkan bahwa : “ Jika rancangan undang-undang itu, meskipun disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat, tidak disahkan oleh Presiden, maka rancangan tadi tidak boleh dimajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu”.  Pasal 28B disebutkan bahwa “ Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dapat diberhentikan dari jabatannya, yang syarat-syarat dan tata caranya diatur dalam undang-undang”.
Di antara perubahan-perubahan penting dalam rumusan-rumusan tersebut di atas adalah terjadinya pergeseran mendasar dalam fungsi legislasi dari tangan Presiden ke tangan DPR.
2. Bentuk Parlemen Jepang
            Parlemen di Jepang terdiri dari dua kamar yaitu Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Negara. Keduanya adalah badan kekuasaan negara yang tertinggi dan menjadi badan negara satu-satunya yang berhak membuat undang-undang. Kedua kamar tersebut terdiri atas anggota-anggota yang dipilh dan yang mewakili segenap rakyat. Jumlah masing-masing kamar, demikianl pula dengan syarat-syarat keanggotaan ditetapkan dengan  undang-undang. Syarat-syarat itu tidak mengadakan perbedaan-perbedaan berdasarkan jenis bangsa, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan dalam masyarakat, keluarga dari mana seseorang berasal, pendidikan, kekayaan, ataupun penghasilan. Hal ini diatur dalam Pasal 41, 42, 43, dan 44 konstitusi Jepang yaitu :
Article 41
The Diet shall be the highest organ of state power, and shall be the sole law-making organ of the State.
Article 42
The Diet shall consist of two Houses, namely the House of Representatives and the House of Councilors.
Article 43
1.      Both Houses shall consist of elected members, representative of all the people.
2.      The number of the members of each House shall be fixed by law.
Article 44
The qualifications of members of both Houses and their electors shall be fixed by law. However, there shall be no discrimination because of race, creed, sex, social status, family origin, education, property or income.

            Jika Dewan Perwakilan Rakyat dibubarkan maka dalam waktu 40 hari setelah pembubaran itu harus diadakan pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang baru. Dan parlemen harus dapat dikumpulkan dalm waktu 30 hari mulai diadakan pemilihan umum. Selama Dewan Perwakilan Rakyat dibubarkan, Dewan Negara ditutup. Tetapi dalam keadaan darurat Kabinet boleh memanggil Dewan Negara dalam sidang darurat. Keputusan-keputusan yang diambil dalam sidang tersebut bersidfat sementara, dan akan kehilangan kekuasaannya, jika lalu mendapat persetujuan Dewan Perwakilanm Rakyat ( setelah terbentuk) dalam waktu 10 hari setelah sidang Parlemen berikutnya dibuka. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Dasar Jepang. Sebagaimana diatur dalam Article 54 :
Article 54
1.      When the House of Representatives is dissolved, there must be a general election of members of the House of Representatives within forty (40) days from the date of dissolution, and the Diet must be convoked within thirty (30) days from the date of the election.
2.      When the House of Representatives is dissolved, the House of Councillors is closed at the same time. However, the Cabinet may in time of national emergency convoke the House of Councillors in emergency session.
3.      Measures taken at such session as mentioned in the proviso of the preceding paragraph shall be provisional and shall become null and void unless agreed to by the House of Representatives within a period of ten (10) days after the opening of the next session of the Diet.
            Tiap Kamar mengadili sendiri perselisihan-perselisihan mengenai syarat-syarat keanggotaan. Untuk menyatakan tidak sahnya keanggotaan seorang anggota harus disetujui sekurang-kurangnya dua pertiga jumlah anggota yang hadir. Setiap masalah hanya dapat diputuskan dalam masing-masing Kamar oleh suara terbanyak anggota yang hadir, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang Dasar. Apabila suara terbagi sama berat, ketua memberi keputusan terakhir. Hal ini diatur dalam Article 55 dan Article 56 ayat (1) dan ayat (2) :
Article 55
Each House shall judge disputes related to qualifications of its members. However, in order to deny a seat to any member, it is necessary to pass a resolution by a majority of two-thirds or more of the members present.
Article 56
1.      Business cannot be transacted in either House unless one-third or more of total membership is present.
2.      All matters shall be decided, in each House, by a majority of those present, except as elsewhere provided in the Constitution, and in case of a tie, the presiding officer shall decide the issue.

            Rencana undang-undang menjadi undang-undang jika diterima oleh kedua kamar, kecuali jika dalam Undang-Undang Dasar ditentukan lain. Apabila Rencana undang-undang yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat, tetapi Dewan Negara mengambil keputusan yang berbeda maka rencana undang-undang tersebut dapat menjadi undang-undang jika kembali disidangkan dalam Dewan Perwakilan Rakyat untuk kedua kalinya dan disetujui oleh dua pertiga jumlah anggota yang hadir. tetapi ketentuan ini tidak menghalangi Dewan Perwakilan Rakyat untuk membentuk Panitia Bersama dari dua kamar guna menyelesaikan perbedaan pendapat. Apabila Dewan Negara tidak mengambil keputusan dalam waktu 60 hari setelah menerima rancangan undang-undang yang telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat ( waktu selama reses tidak diperhitungkan ), maka Dewan Perwakilan Rakyat dapat menganggap bahwa rencana undang-undang tersebut telah ditolak oleh Dewan Negara. Sesuai dengan Article 59 ayat (1), (2), (3) dan ayat (4).
Article 59
1.      A bill becomes a law on passage by both Houses, except as otherwise provided by the Constitution.
2.      A bill which is passed by the House of Representatives, and upon which the House of Councillors makes a decision different from that of the House of Representatives, becomes a law when passed a second time by the House of Representatives by a majority of two-thirds or more of the members present.
3.      The provision of the preceding paragraph does not preclude the House of Representatives from calling for the meeting of a joint committee of both Houses, provided for by law.
4.      Failure by the House of Councillors to take final action within sixty (60) days after receipt of a bill passed by the House of Representatives, time in recess excepted, may be determined by the House of Representatives to constitute a rejection of the said bill by the House of Councillors.
            Pada Article 73 Konstitusi Jepang dinyatakan bahwa Anggaran Belanja Negara setelah direncanakan oleh kabinet harus terlebih dahulu diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Apabila mengenai Anggaran Belanja tersebut Dewan Negara mengabil keputusan yang berbeda dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan tidak ditemukan kesesuaian mesekipun dengan jalan penbentukan panitia bersama maka keputusan Dewan Perwakilan Rakyat ( menerima ataupun menolak ) dianggap sebagai keputusan Parlemen. Jika Dewan Perwakilan Rakyat menerima rencana anggaran belanja yang diajukan kabinet sedangkan Dewan Negara tidak dapat mengambil keputusan dalam waktu 30 hari (tidak terhitung masa reses ) maka dianggap menjadi keputusan Parlemen. Ketentuan ini juga berlaku untuk setiap perjanjian-perjanjian negara. Setiap kamar berhak mengadakan penyelidikan terhadap pemerintahan  dan berhak menghadirkan saksi-saksi.
            Perdana Menteri dan Menteri  meskipun ia anggota perlemen atau tidak setiap waktu dapat hadir untuk berbicara  disetiap kamar mengenai rencana undang-undang. Jika diminta maka mereka harus hadir yaitu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dan memberikan penjelasan.
            Parlemen akan membentuk suatu mahkamah yang terdiri atas anggota anggota kedua kamar, yaitu untuk memeriksa hakim-hakim yang terhadap mereka diajukan tuntutan pemecatan.
G. Perbandingan Ketentuan Mengenai Kekuasaan Kehakiman
1. Struktur Kekuasaan Kehakiman di Indonesia
            Perubahan UUD 1945 juga menyentuh ketentuan-ketentuan yang menyangkut kekuasaan kehakiman. Bahkan hasil perubahan tersebut telah melahirkan dua lembaga negara baru yang berada dalam ranah kekuasaan kehakiman. Maka selain Mahkamah Agung, juga telah ada Mahkamah Konstitusi  dan Komisi Yudisial. Perubahan itu dimaksudkan untuk memperkuat kekuasaan kehakiman dalam sistem ketatanegaraan Indonesia sebagai salah satu perwujudan ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang menyatakan Indonesia adalah negara hukum. Pada BAB IX Pasal 24 disebutkan sebagai berikut :
(1)      Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
(2)      Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan tata usaha neagra, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
(3)      Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang.

Kewenangan Mahkamah Agung diatur dalam Pasal 24A ayat (1) yang juga merupakan hasil perubahan UUD 1945, hal ini dilakukan atas pertimbangan untuk memberikan jaminan konstitusional yang lebih kuta terhadap kewenangan dan kinerja Mahkamah Agung. Kewenangan Mahkahamah Agung tersebut adalah :
1)      Mengadili pada tingkat kasasi
2)      Menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang.
3)      Wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.
Kewenangan Komisi Yudisial diatur dalam Pasal 24B ayat (1) yaitu :
”Komisi Yudisial mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim”

Adanya ketentuan ini berangkat dari gagasan bahwa sebagai negara hukum, masalah kehormatan hakim agung yang duduk di MA dan para hakim merupakan figur yang sangat menentukan dalam perjuangan menegakkan hukum dan keadilan.
            Ide pembentukan MK mendapat respon positif dan menjadi salah satu materi perubahan UUD yang diputuskan oleh MPR. Setelah melalui proses pembahasan yang mendalam, cermat, dan demokrasi akhirnya ide Mahkamah Konstitusi menjadi kenyataan dengan disahkannya Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24C UUD 1945. Mengenai tugas dan wewenang Mahkamah Konstitusi diatur dalam Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) yaitu :
(1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
(2)   Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.

2. Struktur Kekuasaan Kehakiman di Jepang
            Pada konstitusi Jepang, ketentuan mengenai kekusaan kehakiman hanya terletak pada Mahkamah Agung dan pengadilan yang lebih rendah sebagai diatur dalam hukum. Jadi tidak ada lembaga khusus untuk pengadilan konstitusional seperti Mahkamah Konstitusi di Indonesia. Karena wewenang untuk melakukan pengujian secara konstitusional juga ada pada Mahkamah Agung. Hal ini dapat kita lihat pada CHAPTER VI. JUDICIARY Article 76 dan Article 81:
Article 76
1.      The whole judical power is vested in a Supreme Court and in such inferior courts as are established by law.
2.      No extraordinary tribunal shall be established, nor shall any organ or agency of the Executive be given final judicial power.
3.      All judges shall be independent in the exercise of their conscience and shall be bound only by this Constitution and the laws.
Article 81
The Supreme Court is the court of last resort with power to determine the constitutionality of any law, order, regulation or official act.

Kemudian untuk wewenang pengangkatan terhadap hakim agung pada Konstitusi Jepang justru diberikan kepada pihak Kabinet dan ditinjau setiap 10 tahun oleh DPR, hal ini dapat dilihat pada Article 79 ayat (1) ayat (2) dan ayat (3) :
1.      The Supreme Court shall consist of a Chief Judge and such number of judges as may be determined by law; all such judges excepting the Chief Judge shall be appointed by the Cabinet.
2.      The appointment of the judges of the Supreme Court shall be reviewed by the people at the first general election of members of the House of Representatives following their appointment, and shall be reviewed again at the first general election of members of the House of Representatives after a lapse of ten (10) years, and in the same manner thereafter.
3.      In cases mentioned in the foregoing paragraph, when the majority of the voters favors the dismissal of a judge, he shall be dismissed.
H. Perbandingan Mengenai Pengaturan HAM serta Hubungan Rakyat dan Penguasa.
1. Indonesia
            Dalam UUD 1945 ketentuan mengenai Hak Asasi Manusia diatur dengan sangat jelas dan tegas. Ketentuan ini merupakan salah satu hasil perubahan yang telah dilaksanakan sebanyak empat kali. Pengaturan mengenai Hak Asai Manusia dalam Konstitusi Indonesia telah tempatkan secara khusus dalam BAB XA yang terdiri dari 10 pasal, yaitu Pasal 28A sampai dengan Pasal 28 J. Rumusan HAM yang masuk dalah UUD 1945 dapat dibagi dalam beberapa aspek, yaitu :
  1. HAM berkaitan dengan hidup dan kehidupan
  2. HAM berkaitan dengan keluarga
  3. HAM berkaitan dengan pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi;
  4. HAM berkaitan dengan pekerjaan;
  5. HAM berkaitan dengan kebebasan beragma dan meyakini kepercayaan, kebebasan bersikap, berpendapat dan berserikat;
  6. HAM berkaitan dengan informasi dan komunikasi;
  7. HAM  berkaitan dengan rasa aman dan perlindungan dari perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat manusia;
  8. HAM berkaitan dengan kesejahteraan sosial;
  9. HAM berkaitan dengan persamaan dan keadilan;
  10. HAM berkewajiban menghargai hak orang dan pihak lain.

2. Jepang
            Pada konstitusi Jepang, ketentuan mengenai hubungan antara rakyat dan penguasa serta Hak Asasi Manusia juga diatur tersendiri dalam CHAPTER III. RIGHTS AND DUTIES OF THE PEOPLE (hak dan kewajiban rakyat). Pengaturan mengenai Hak Asasi Manusia dalam Kosntitusi Jepang diatur dalam 30 Pasal. Dimana hampir seluruh rumusan yang dalam pasal-pasal tersebut tidak jauh berbeda dengan apa yang diatur dalam UUD 1945 pada BAB XA mengenai Hak Asasi Manusia. Pada Kosntitusi Jepang juga disebutkan adanya jaminan secara konstitusional tentang HAM. Hal ini dapat secara jelas kita lihat pada Article 11 dan Article 12 Kontitusi Jepang, yaitu :
Article 11
The people shall not be prevented from enjoying any of the fundamental human rights. These fundamental human rights guaranteed to the people by this Constitution shall be conferred upon the people of this and future generations as eternal and inviolate rights.
Article 12
The freedoms and rights guaranteed to the people by this Constitution shall be maintained by the constant endeavor of the people, who shall refrain from any abuse of these freedoms and rights and shall always be responsible for utilizing them for the public welfare.
Bahwa Orang-orang tidak akan dicegah dari menikmati hak-hak asasi manusia. Hak-hak asasi manusia dijamin rakyat dengan Konstitusi, jaminan ini harus diberikan pada setiap dan generasi mendatang sebagai hak abadi dan terhormat. Kebebasan dan hak rakyat dijamin oleh Konstitusi ini harus dipelihara oleh upaya konstan rakyat, yang harus mencegah adanya penyalahgunaan kebebasan dan hak-hak ini dan selalu bertanggung jawab untuk memanfaatkan mereka untuk kesejahteraan masyarakat.
I. Perbandingan Ketentuan Mengenai Hubungan Alam dan Negara
            Ketentuan mengenai hubungan alam dan negara sebagai salah satu tipologi konsitusi ditentuka secara jelas oleh UUD 1945, tepatnya pada pasal 33 ayat (3) yaitu : ”Bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Ketentuan ini menunjukan bahwa negara Indonesia adalah negara yang bertujuan mencapai kesejahteraan dalam bingkai modern walfare state. Bahwa segala unsur-unsur penting yang merupakan prasyarat untuk mencapai tujuan negara sejahtera harus dikuasai oleh negara. Sedangkan pada Konstitusi Jepang, ketentuan mengenai Alam dan Negara tidak disebutkan secara jelas.
J. Perbandingan Ketentuan Mengenai Perubahan Konstitusi (Amademen)
            Dalam UUD 1945 ketentuan mengenai syarat untuk mengadakan perubahan UUD diatur secara tegas dalam BAB XVI PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR, Pasal 37 Ayat (1), (2), (3), (4) dan ayat (5) :
  1. Usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar dapat di agendakan dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakayat apabila di ajukan sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
  2. Setiap usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar diajukan secara tertulis dan diajukkan dengan jelas bagian yang di usulkan untuk diubah beserta alasannya
  3. Untuk mengubah Pasal-pasal Undang-Undang Dasar, Sidang Majelis Permusyawaraan Rakyat di hadiri sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
  4. Putusan untuk mengubah pasal-pasal Undan-Undang Dasar dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya limah puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
  5.  Khusus mengenai betuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan.
 Ketentuan tersebut di atas merupakan hasil perubahan yang telah dilaksanakan sebanyak empat kali sejak tahun 1999. Dimana sebelumnya dimasa orde baru, setiap upaya yang coba dilakukan untuk dilakukan untuk mendorong perubahan UUD 1945 dipandang sebagai hal yang tabuh dan tidak boleh dilakukan. Namun gerakan reformasi di tahun 1998 yang dipelopori oleh para mahasiswa dan pemuda telah meruntuhkan kesakralan UUD 1945 sebagai konstitusi yang tidak boleh disentuh dengan agenda perubahan. Bahkan hasil perubahan tersebut dipandang sebagai sebuah perubahan yang radikal khususnya pada sistem ketatanegaraan Indonesia.
            Pada negara Jepang Inisiatif perubahan Konstitusi ada pada parlemen, ditentukan dengan sekurang-kurangnya dua pertiga jumlah anggota tiap kamar. Kemudian diserahkan kepada rakyat untuk diratifikasi yang dilakukan dalam referendum khusus atau dalam pemihan yang oleh Parlemen. Untuk ratifikasi tersebut diperlukan persetujuan jumlah terbanyak dari suara-suara yang masuk. Perubahan yang telah diratifikasi tersebut harus diundangkan oleh Kaisar sebagai bagian yang tak terpisahkan dari Konstitusi. Hal ini diatur dalam CHAPTER IX. AMENDMENTS
Article 96
  1. Amendments to this Constitution shall be initiated by the Diet, through a concurring vote of two-thirds or more of all the members of each House and shall thereupon be submitted to the people for ratification, which shall require the affirmative vote of a majority of all votes cast thereon, at a special referendum or at such election as the Diet shall specify.
  2. Amendments when so ratified shall immediately be promulgated by the Emperor in the name of the people, as an integral part of this Constitution. 

BAB III

Kesimpulan
Dengan membandingkan Konstitusi kedua negara tersebut kita dapat melihat bahwa terdapat perbedaan yang cukup besar. Hal ini tidak pernah lepas dari pengaruh kondisi sosial, budaya, sejarah, ekonomi serta tentunya konfigurasi politik yang ada pada masing-masing negara.
Perbedaaan yang dapat kita lihat adalah pertama, Jepang menggunakan sistem pemerintahan parlementer sedangkan Indonesia menggunakan sistem pemerintahan Presidensil, kedua, Jepang menerapkan sistem strong bicameral (dua kamar yang kuat) terhadap struktur parlemennya sedangkan Indonesia menggunakan sistem soft bicameral (kekuatan dua kamar tidak seimbang), ketiga, kedua negara adalah negara kesatuan yang memiliki penerapan otonomi daerah yang hampir sama. Keempat, pada struktur kekuasaan kehakiman terdapat perbedaan yang cukup besar, di Indonesia selain Mahkamah Agung juga terdapat Mahkamah Konstitusi yang bertanggung jawab menjaga tegaknya konstitusi dan Komisi Judisial yang bertanggung jawab menyeleksi serta menjaga harkat dan martabat hakim. Sedangkan pada negara Jepang kekuasaan kehakiman hanya dilaksanakan oleh satu lembaga yaitu Mahkamah Agung, dimana wewenang untuk mengadakan pengujian secara konstitusional terhadap undang-undang juga dilaksanakan oleh Mahkama Agung. Hanya saja pengangkatan dan pengawasan hakim di Jepang dilaksanakan oleh pihak kabinet dan parlemen. Kelima, perbandingan ketentuan mengenai hak asasi manusia antara Indonesia dan Jepang tidak terdapat perbedaan yang signifikan, kedua negara mengatur secara tegas mengenai hak asasi manusia dalam konstitusinya.
Keenam, perbandingan ketentuan mengenai hubungan alam dan negara, dapat dilihat bahwa Indonesia mengatur secara jelas dalam Konstitusinya mengenai kedudukan negara dalam penguasaan terhadap alam yang diarahkan untuk kesejahteraan rakyat, namun pada Konstitusi Jepang hal ini tidak diatur secara jelas. Ketujuh, mengenai mekanisme perubahan konstitusi, di Indonesia ditentukan bahwa perubahan terhadap konstitusi menjadi kewenangan MPR, dengan syarat diajukan oleh sekurang-kurangnya sepertiga jumlah anggota MPR serta disetujui oleh sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu, dimana sidang persetujuan tersebut dihadiri sekurang-kurangnya dua pertiga anggota MPR. Sedangkan pada Konstitusi Jepang ditentukan bahwa, Inisiatif perubahan Konstitusi ada pada parlemen, ditentukan dengan sekurang-kurangnya dua pertiga jumlah anggota tiap kamar. Kemudian diserahkan kepada rakyat untuk diratifikasi yang dilakukan dalam referendum khusus atau dalam pemihan yang oleh Parlemen. Untuk ratifikasi tersebut diperlukan persetujuan jumlah terbanyak dari suara-suara yang masuk. Perubahan yang telah diratifikasi tersebut harus diundangkan oleh Kaisar sebagai bagian yang tak terpisahkan dari Konstitusi.




























DAFTAR PUSTAKA

Asshiddiqie Jimly, 2005, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta
Asshiddiqie Jimly, 2005, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Konstitusi Press, Jakarta
Asshiddiqie Jimly, 2005, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945, FH-UII Press, Yogyakarta
Asshiddiqie Jimly, 2007, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta
Asshiddiqie Jimly, 2007, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta
Dewan Perwakilan Daerah RI, 2007, Untuk Apa DPD RI, Kelompok DPD DI MPR RI, Jakarta
Dwi Purnomowati, Reni, 2005, Implementasi Sistem Bicameral dalam Parlemen Indonesia, PT. KaisarGrafindo Persada, Jakarta
Forum Masyarakat Peduli Parlemen (FORMAPPI), 2005, Lembaga Perwakilan Rakyat Indonesia, Studi dan Analisis Sebelum dan Sesudah Perubahan UUD 1945, FORMAPPI dan Australian Government, AusAID, Jakarta
Hamidi Jazim & Malik, 2009, Hukum Perbandingan Konstitusi, Prestasi Pustaka, Jakarta.
Held, David, 2006, Models Of Democracy, Akbar Tandjung Institute, Jakarta
Held, David, 2004, Demokrasi & Tatanan Global, Dari Negara Modern hingga Pemerintahan Kosmopolitan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Huda, Ni’matul, 2005, Hukum Tata Negara Indonesia, PT. KaisarGrafindo Persada, Jakarta
Strong, C.F, 2004, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern, Nuansa dan Nusamedia, Bandung
Huntington, Samuel P., 2001, Gelombang Demokratisasi Ketiga, Grafiti, Jakarta
Kurde, Arfawie Nukthoh, 2005, Telaah Kritis Teori Negara Hukum, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Mahfud MD, Moh, 2006, Politik Hukum Di Indonesia, LP3ES, Jakarta
Manan Bagir, 2006, Konvensi Ketatanegaraan, FH-UII Press, Yogyakarta
Nurtjahjo, Hendra, 2006, Filsafat Demokrasi, PT. Bumi Aksara, Jakarta
MPR RI, 2006, Materi Sosialisasi Undang Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945, Sekretariat Jenderal MPR RI
Rahman Daeng Naja, Hasanuddin, 2004, Dewan Perwakilan Daerah, Bicameral Setengah Hati, Media Pressindo, Yogyakarta
Republik Indoneisa, 2002, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Citra Umbara, Bandung
Republik Indonesia, 2003, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003, Tentang Mahkamah Konstitusi, Citra Umbara, Bandung  
Republik Indonesia, 2003, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003, Tentang Susunan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD, Focus Media, Bandung
Republik Indonesia, 2004, Tata Tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat, Sekretariat Jenderal MPR RI, Jakarta
Republik Indonesia, 2004, Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat, Sekretariat Jenderal DPR RI, Jakarta
Republik Indonesia, 2004, Tata Tertib Dewan Perwakilan Daerah, Sekretariat Jenderal DPD RI, Jakarta  
Revitch, Diane & Abigail Thernstrom, 2005, Demokrasi Klasik & Modern, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta
Rodee, Carlton Clymer, Dkk, 2006, Pengatar Ilmu Politik, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta
Rousseau, Jean. Jasques, 1989, Perihal Kontrak Sosial, Dian Rakyat, Jakarta
Soehino, 2000, Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta
Surbakti, Ramlan, 1992, Memahami Ilmu Politik, Grasindo, Jakarta

















































3 comments:

Anonymous said...

gan boleh izin copas ga untuk tugas

Anonymous said...

lengkap gan..
sekalian izin copas juga ya..

Unknown said...

Gan, postinganya ok banget, ijin kopas ya untuk tugas,

Salam,