BAB I
PENDAHULUAN
A. Pendahuluan
Sejak peradaban bangsa Yunani studi
mengenai Konstitusi (politeia) telah mulai berkembang. Hal ini
merupakan sebuah konsekuensi logis dari kultur masyarakatnya yang sangat
memiliki perhatian terhadap negara. Demokrasi klasik yang menjadi sistem dalam
menjalankan pemerintahan telah lebih dikenal di negara ini. Meskipun pada waktu
itu Yunani masih berbentuk negara Polis (kota). Juga didukung dengan jalur
perdagangan antar negara yang membuat masyarakat Yunani banyak bersentuhan
dengan kultur negara lain. Socrates seorang filosof dan ahli negara dari Yunani
mengemukakan ajarannya mengenai Kostitusi dalam bukunya yang berjudul Panatheinaicus. Begitu pula dengan
muridnya yang bernama Plato juga mengajarkan hal yang sama dalam buku yang
berjudul Nomoi serta Aristoteles dalam bukunya yang berjudul Politics.
Pasca Perang Dunia Kedua studi mengenai
Konstitusi di negara Asia dan Afrika mulai mengalami perkembangan yang ditandai
dengan adanya proses dekolonisasi. Hal ini sesuai dengan perkembangan kehidupan
di lingkungan masing-masing. Di negara Indonesia pada tahun 1945 para
tokoh-tokoh pergerakan menyusun sebuah naskah konstitusi sebagai bentuk
persiapan kemerdekaan dan sebagai negara yang berdaulat. Naskah inilah yang
kemudian kita kenal dengan nama Undang-Undang Dasar 1945 yang memuat berbagai
hal terutama mengenai penataan kehidupan kenegaraan kita.
Perbincangan mengenai Konstitusi di Indonesia
lebih dikenal dengan nama Hukum Tata Negara. Dan dalam konteks studi dan
pendidikan hukum maka Hukum Tata Negara merupakan sebuah hal wajib bagi
mahasiswa hukum. Karena perlu dipahami bahwa Undang-Undang Dasar merupakan
acuan bagi seluruh produk hukum yang ada.
Jika kita melihat secara konfrehensif maka
sebenarnya konstitusi Indonesia memiliki ciri yang berbeda dengan negara-negara
Barat. Terutama mengenai dasar-dasar bagi kehidupan sosial,ekonomi dan
kebudayaan yang dimuat dengan jelas dalam UUD 1945, sedangkan di negara-negara
barat hanya menekankan pada persoalan politik.
Sejarah perkembangan Konstitusi Indonesia
sejak zaman kemerdekaan sampai dengan masa dimana reformasi menjadi sebuah
spririt bangsa cukup mengalami sebuah dinamisasi. Hal yang perlu dicatat adalah
bahwa telah terjadi beberapa upaya (i) pembentukan Undang-Undang Dasar (ii)
penggantian Undang-Undang Dasar (iii) perubahan Undang-Undang Dasar.
Pada
tahun 1945 Undang Undang Dasar 1945 dibentuk dan disusun oleh Badan Penyelidik
Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) yang kemudian dijadikan sebagai hukum dasar negara yang
kemerdekaannya diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945. Ketika bentuk Negara Republik Indonesia diubah
menjadi Negara Serikat (Federal) pada tahun 1949 maka diadakan penggantian
konstitusi dari Undang-Undang Dasar 1945 ke Konstitusi Republik Indonesia
Serikat Tahun 1949. Pada tahun 1950 kembali diadakan penggantian dari
Konstitusi Republik Indonesia Serikat ke Undang-Undang Dasar Sementara 1950
dengan bentuk Negara Kesatuan. Kemudian mulailah diadakan upaya untuk menyusun
Konstitusi dengan jalan dibentuk lembaga yang bertanggung jawab untuk itu.
Lembaga Konstituante yang kemudian mengadakan persidangan cukup panjang panjang
ternyata gagal menyusun konstitusi tersebut dan akhirnya dibubarkan dengan
sebuah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan Undang-Undang Dasar 1945 diberlakukan
kembali.
Perubahan dalam arti pembaruan terhadap
Konstitusi baru terjadi pada masa reformasi yaitu tahun 1998. Perubahan pertama
pada tahun 1999, perubahan kedua pada tahun 2000, perubahan ketiga pada tahun
2001 dan perubahan keempat pada tahun 2002.
Perubahan terhadap Undang-Undang Dasar
1945 yang dilakukan sebanyak empat kali menyebabkan perubahan yang sangat
mendasar terhadap sistem ketatanegaran Indonesia. Oleh karena itu dalam tulisan
ini penulis mencoba untuk memberikan gambaran perbandingan Konstitusi antara
Indonesia dan Jepang.
B. Rumusan Masalah
Untuk memahami lebih jelas mengenai
arah penguatan tulisan ini maka dalam makalah ini penulis membuat rumusan
masalah yang nantinya akan dibahas yaitu :
- Bagaimana perbandingan Bentuk Negara antara Indonesia dan Jepang
- Bagaimana perbandingan Sistem Pemerintahan antara Indonesia dan Jepang
- Bagaimana perbandingan Bentuk Parlemen antara Indonesia dan Jepang
C. Tujuan
Adapun
yang menjadi tujuan penulisan makalah ini adalah
1. Untuk mengetahui bagaimana perbandingan
Bentuk Negara antara Indonesia dan Jepang
- Untuk mengetahui bagaimana perbandingan Sistem Pemerintahan antara Indonesia dan Jepang
- Untuk mengetahui bagaimana perbandingan Bentuk Parlemen antara Indonesia dan Jepang
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Klasifikasi Bentuk Negara
1.
Negara Kesatuan
Menurut C.F Strong negara kesatuan adalah
negara yang diorganisir di bawah satu pemerintahan pusat. Artinya, kekuasaan
apapun yang dimiliki oleh berbagai distrik di dalam wilayah yang dikelola
sebagai suatu keseluruhan oleh pemerintah pusat harus diselenggarakan menurut
kebijakan pemerintah itu.
Negara Kesatuan dapat pula disebut Negara
Unitaris. Jika ditinjau dari segi susunannya maka memang susunanya bersifat
tunggal, artinya Negara Kesatuan itu adalah negara yang tidak tersusun dari
beberapa negara bagian melainkan hanya terdiri atas satu negara saja. Pada XVII
maupun abad XVIII pada jaman hukum alam kekuasaan para penguasa pada umumnya
menggunakan dua asas yaitu :
- Asas Sentralisasi, bahwa segala kekuasaan dan urusan pemerintahan adalah milik Pemerintah Pusat
- Asas Konsentrasi, bahwa segala kekuasaan dan urusan pemerintahan adalah dilaksanakan sendiri oleh Pemerintah Pusat
Pada masa itu sebenarnya telah lahir
berbagai teori dari beberapa pakar kenegaraan yang mencoba untuk membatasi
kekuasaan penguasa yang absolut. Diantaranya adalah Jhon Locke dengan ajaran hak
asasi manusia, Montesquieu dengan ajaran Trias Politika, J.J Rousseau dengan
ajaran kedaulatan rakyat, Immanuel Kant dengan ajaran tentang kedaulatan rakyat
serta Maurice Duverger dengan ajaran tentang pemilihan dan pengangkatan para
penguasa.
Dengan
perkembangan yang semakin pesat serta tuntutan demokratisasi di berbagai nagara yang memiliki efek bola
salju bagi negara yang lain akhirnya asas dekonsentrasi dan asas desentralisasi
dapat menggeser kekuatan penguasa yang sangat absolut.
Momen yang
paling penting bagi perkembangan demokrasi di dunia ini adalah ketika terjadinya
revolusi Perancis yang disebut sebagai gelombang demokratisasi pertama
oleh Samuel P.Huntington.
Dalam
perkembangannya dewasa ini asas dekonsentrasi pada pelaksanaanya telah
melahirkan pembagian wilayah dalam konteks administrasi. Sehingga pelaksanaan
pemerintahan tidak lagi bersifat terpusat.
Selanjutnya
pelaksanaan asas desentralisasi kemudian melahirkan daerah-daerah otonom, yaitu
suatu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah tertentu yang
berhak, berwenang, dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya
sendiri.
2.
Negara Federal
Menurut
Soehino, Negara Federal adalah negara yang bersusun jamak, maksudnya negara ini tersusun dari beberapa negara yang
semula telah berdiri sendiri senagai negara yang merdeka dan berdaulat, mempunyai
Undang-Undang sendiri serta pemerintahan sendiri, tetapi karena sesuatu
kepentingan entah kepentingan politik, ekonomi atau kepentingan lainnya,
negara-negara tersebut saling menggabungkan diri untuk membentuk suatu ikatan
kerja sama yang efektif. Ikatan kerja sama inilah yang kemudian disebut
dengan Negara Federal dengan Pemerintahan yang disebut Pemerintah Federal. Jadi konsep yang digunakan dalam negara
Federal adalah :
a.
Ada Negara Federal atau Negara Gabungan dan Negara-Negara Bagian
b.
Ada Pemerintah Negara Federal dan Pemerintah
Negara-Negara Bagian
c.
Ada Undang-Undang Dasar Negara Federal dan
Undang-Undang Dasar Negara Bagian
B. Klasifikasi Sistem Pemerintahan
1. Sistem Parlementer
Sistem pemerintahan parlementer banyak diterapkan di
benua Eropa serta dibeberapa negara Asia. Dalam sistem parlementer dibedakan
serta dilakukan pemisahan antara kepala negara dan kepala pemerintahan.
Sehingga yang biasanya bertindak sebagai kepala negara adalah Kaisaratau
Presiden sedangkan yang bertindak sebagai kepala pemerintahan adalah Perdana
Menteri. Perdana Menteri dipilih dalam pemilihan umum namun tidak secara
lansung, melainkan terpilih adalah anggota parlemen serta menguasai mayoritas kursi parlemen. Parlemen dapat menjatuhkan Presiden serta
membubarkan kabinet.
2.
Sistem Presidensil
Beberapa ciri
sistem pemerintahan presidensil yaitu :
- Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara lansung oleh rakyat ataupun melalui mekanisme perantara tertentu yang tidak bersifat permanen seperti halnya sistem parlementer.
- Karena dipilih secara langsung oleh rakyat maka Presiden dan Wakil Presiden tidak bertanggungjawab terhadap parlemen melainkan bertangungjawab langsung kapada rakyat.
- Presiden dan Wakil Presiden hanya dapat diberhentikan jika melakukan pelanggaran hukum yang biasanya dibatasi pada kasus-kasus tindak pidana tertentu dan jika dibiarkan akan menimbulkan masalah hukum yang serius.
- Masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden ditentukan dengan jelas, sehingga Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat diberhentikan di tengah masa jabatannya karena alasan politis. Biasanya masa jabatan ini dibatasi hanya untuk 1 kali masa jabatan atau 2 kali masa jabatan berturut-turut.
- Dalam hubungannya dengan lembaga parlemen, Presiden tidak tunduk kepada parlemen, tidak dapat membubarkan parlemen. Sebaliknya parlemen tidak dapat menjatuhkan Presiden dan membubarkan kabinet.
- Dalam sistem presidensil tidak dikenal adanya pembedaan antara fumgsi kepala negara dan kepala pemerintahan. Tanggungjawab pemerintahan ada ditangan Presiden dan oleh karena itu Presidenlah yang berwenang membentuk pemerintahan, menyusun kabinet, mengangkat dan memberhentikan para Menteri serta pejabat-pejabat publik.
C. Klasifikasi Bentuk Parlemen
1. Sistem Unikameral (Satu Kamar)
Dalam sistem
unicameral (satu kamar) tidak dikenal adanya
dua badan yang terpisah seperti DPR dan senat atau Majelis Tinggi dan
Majelis rendah. Namun perlu diketahui bahwa banyak negara yang menerapakan
konsep struktur parlemen ini. Negara-negara yang kecil dengan kondisi
konfigurasi politik yang cnderung lebih homogen banyak mengadopsi sistem ini.
Alasan memilih sistem ini adalah mengenai keseimbangan politik. Sangat berbeda
jika diterapkan pada negara besar yang sangat memiliki konfigursai politik yang
heterogen.
Pada negara-negara sosialis
dipandang bahwa jika menerapakan sistem bicameral justru menimbulkan biaya yang
besar serta sangat sedikit kompensasi atau keuntungan yang didapatkan.
Fungsi dewan atau Majelis Legislatif pada sistem
unicameral terpusat pada satu badan legislatif tertinggi dalam struktur negara.
Fungsi parlemen pada beberapa negara berbeda-beda, namun pada pokoknya bahwa
secara kelembagaan fungsi legislatif tertinggi ada pada satu lembaga saja.
2. Sistem Bikameral (Dua Kamar)
Istilah bikameral biasa dikenal dengan nama second
chamber atau Upper Hous, di berbagai negara dikenal dengan variasi nama yang
bermacam-macam, sbagai contoh di Inggris dikenal dengan nama Council of State,
di Jerman dikenal dengan nama Bundersat, di Malaysia dikenal dengan nama Dewan
Negara dan sebagian besar seperti di Australia, Amerika Serikat, Kanada,
Perancis, masing-masing dinamakan Senate.
Biasanya
alasan yang mendasari pemilihan sistem bicameral ada dua hal. Alasan pertama adalah untuk membangun sebuah mekanisme pengawasan dan keseimbangan
(checks and balances) serta untuk pembahasan sekali lagi dalam bidang legislatif.
Kedua adalah untuk membentuk perwakilan untuk menampung kepentingan
tertentu yang biasanya tidak cukup terwakili oleh majelis pertama. Secara
khusus, bikameralisme telah digunakan untuk menjamin perwakilan yang memadai
untuk daerah-daerah di dalam lembaga legislatif. Hasil kesenjangan representasi
di majelis kedua amat bervariasi di dalam berbagai sistem di dunia.
D.
Perbandingan Bentuk Negara Indonesia dan Jepang
1.
Bentuk Negara Indonesia
Perkembangan Konstitusi Indonesia sejak zaman kemerdekaan sampai
sekarang yang diwarnai dengan sentuhan perubahan bahkan penggantian tentunya
memiliki konsekuensi logis terhadap bentuk negara Indonesia. Dalam rumusan Pasal 1
ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang sampai hari ini tidak mengalami
perubahan menyebutkan : “Negara Indonesia ialah negara kesatuan yang berbentuk
republik” hal ini menunjukkan bahwa sejak awal penyusunan konstitusi ini The
Founding Fathers Indonesia menekankan bahwa hakikat negara Indonesia adalah
negara Kesatuan.
Kekalahan
pihak Jepang dari Sekutu pada akhir perang dunia kedua dimanfaatkan oleh pihak
Belanda untuk kembali menjajah Indonesia.
Namun
taktik yang dilakukan Belanda adalah dengan jalan melakukan adu domba untuk
memecah bangsa Indonesia. Pemerintah Belanda membantu berdirinya negara-negara
kecil di wuilayah Indonesia. Seperti Negara Sumatera, Negara Pasundan, Negara
Indonesia Timur dan sebagainya. Hal ini diukuti dengan Agresi militer Belanda
pada tahun 1947 dan tahun 1948. Masalah ini kemudian menjadi penyebab
diadakannya Konfrensi Meja Bundar yang berhasil menyepakati tiga hal yaitu :
1. Mendirikan Negara Republik Indonesia Serikat
2. Penyerahan Kedaulatan kepada RIS yang berisi
tiga hal, yaitu (a) piagam penyerahan kedaulatan dari Kerajaan Belanda kepada
Pemerintah RIS; (b) status uni; dan (c) persetujuan perpindahan.
3.
Mendirikan uni antara Republik Indonesia Serikat
dengan Kerajaan Belanda.
Konsekuensi dari hasil
Konperensi Meja Bundar tersebut adalah disusunnya Konstitusi secara
bersama-sama antara Republik Indonesia Serikat dengan Bijeenkomst voor
Federal Overleg (B.F.O). Konstitusi RIS mulai berlaku pada tanggal 27
Desember 1949. Dengan berdirinya negara Republik Indonesia Serikat berdasarkan
Konstituis RIS tahun 1949 wilayah Republik Indonesia masih tetap ada namun
merupakan negara bagian dari negara federal Republik Indonesia Serikat.
Pada saat itulah negara Indonesia menggunakan konsep negara federal dan
meninggalkan bentuk negara kesatuan.
Namun bentuk negara federal
dipandang sangat merugikan bagi pemerintah Republik Indonesia karena dianggap
sangat sarat dengan kepentingan politik Belanda. Apalagi negara Indonesia
adalah negara yang baru saja terbentuk dan memerlukan tahap konsolidasi yang baik.
Meskipun ada kesesuaian antara konsep negara federal dengan kondisi sosio
kultural Indonesia tetapi hal ini dilatarbelakangi dengan kepentingan
pemerintah Belanda.
Bentuk negara federal
akhirnya tidak dapat bertahan lama. Wibawa negara Republik Indonesia Serikat
mulai runtuh ketika ada konsolidasi antara Negara Republik Indonesia, Negara
Indonesia Timur dan Negara Sumatera Timur untuk menyatu dalam satu wilayah
negara Republik Indonesia. Akhirnya dicapailah kesepakatan antara Pemerintah
Republik Indonesia dengan Pemerintah Republik Indonesia Serikat untuk kembali
bersatu mendirikan negara kesatuan Republik Indonesia. Kesepakatan ini tertuang
dalam naskah persetujuan bersama pada tanggal 19 Mei 1950. Inti dari
kesepakatan itu adalah menyepakati diobentuknya kembali NKRI sebagai kelanjutan
dari negara kesatuan yang
diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945. Konstitusi RIS diganti dengan
Undang-Undang Dasar Sementara 1950. Karena gagalnya konstituante menyusun
Konstitusi untuk menggantikan UUDS 1950, akhirnya Presiden Soekarno
mengeluarkan Dekrit pada tanggal 5 Juli 1959 yang menyatakan berlakunya kembali
Undang-Undang Dasar 1945.
Sejak itulah sampai sekarang
Indonesia kembali menggunakan bentuk negara kesatuan. Bahkan pada saat diadakan
perubahan yang keempat terhadap Undang-Undang Dasar 1945 yang ditetapkan pada
tanggal 10 Agustus 2002 ditegaskan pada Pasal 37 ayat (5) yang menyebutkan :
“Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat
dilakukan perubahan”.
Secara sosio kultural dan
geografis sebenarnya negara Indonesia sangat cocok dengan bentuk negara
federal. Namun karena pengalaman yang buruk dengan sistem federal, ditambah
lagi dengan gelombang disintegrasi yang kuat membuat para legislator di MPR
mempertegas dalam UUD 1945 untuk tidak diperbolehkanya perubahan terhadap
bentuk negara kesatuan. Untuk mencegah gerakan disintegrasi tersebut maka
diberlakukanlah konsep Otonomi Daerah dengan landasan hukum yaitu UU Nomor 22
Tahun 1999 yang kemudian direvisi menjadi UU Nomor 32 Tahun 2004. Konsep ini
pada intinya ada dua hal yaitu pelaksanaan Desentralisasi dan Dekonsentrasi.
Jika kita meninjau secara akademis terhadap konsep otonomi daerah yang
diterapkan di negara Indonesia dengan landasan UU Nomor 32 Tahun 2004 maka
sebenarnya ada muatan konsep federalistis yang tertuang di dalamnya.
Menurut Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie,
S.H. bahwa dalam sistem federal, kekuasaan asli atau kekuasaan sisa (residual
power) berada di pusat, sedangkan dalam sistem negara kesatuan (unitary),
kekuasaan asli atau kekuasaan sisa itu berada di daerah. Pada UU Nomor 32 Tahun
2004 justru kekuasaan sisa tersebut menjadi milik pusat yang merupakan ciri
khas bentuk negara federal.
2.
Bentuk Negara Jepang
Secara
geografis Jepang terbilang negara cukup yang kecil, yang mana terdiri dari
beberapa pulau dan terletak disebelah timur Cina. Sehingga wajar jika Jepang
menggunakan konsep bentuk negara Kesatuan. Layaknya beberapa negara kesatuan
yang lain meskipun Jepang terdiri atas beberapa Propinsi namun tetap merupakan
satu kesatuan dengan pusat pemerintahan yang satu pula. Propinsi-propinsi
tersebut dipimpin oleh Gubernur sebagai kepala pemerintahan dan bertanggung
jawab terhadap Perdana Menteri. Pelaksanaan pemerintahan di daerah menganut
sistem otonomi daerah seperti yang dipraktekan di Indonesia yang diatur dengan
jelas dalam Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 yaitu :
(1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi
atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan
kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan
daerah, yang diatur dengan undang-undang.
(2) Pemerintahan daerah provinsi, daerah
kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut
asa otonomi dan tugas pembantuan.
Pada konstitusi
Jepang hal ini juga diatur dalam Chapter VIII. tentang Local
Self-Government
Article 92 :
Regulations
concerning organization and operations of local public entities shall be fixed
by law in accordance with the principle of local autonomy.
Pada article ini ditentukan bahwa Peraturan tentang organisasi dan operasi dari lembaga publik lokal harus
ditetapkan oleh hukum sesuai dengan prinsip otonomi daerah. Selanjutnya hal ini dipertegas pula pada article 94
yaitu :
Local public entities shall have the right to
manage their property, affairs and administration and to enact their own
regulations within law.
Bahwa lembaga publik lokal berhak untuk mengelola harta mereka, dan urusan
administrasi dan menetapkan ketentuan mereka sendiri dalam hukum. Sehingga
dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terdapat persamaan pada konstitusi
Indonesia dan Jepang khususnya hal yang mengatur mengenai bentuk negara dan
pemerintahan daerah.
E. Perbandingan Sistem Pemerintahan Indonesia dan
Jepang
1.
Sistem Pemerintahan Indonesia
Penduduk
Indonesia menempati urutan keempat terbesar di dunia. Juga dengan komposisi
yang beragam. Berbagai suku bangsa, etnisitas serta anutan agama. Wilayahnyapun
sangat luas, kurang lebih 17.000 pulau besar dan kecil. Kompleksitas serta
keragaman ini sangat menentukan konfigurasi politik dalam masyarakat. Dengan
kondisi tersebut maka tidak dapat dihindari jika sistem multi-partai menjadi
pilihan terbaik bagi demokratsisasi di Indonesia. Asumsi inilah yang kemudian
menjadi alasan untuk menggunakan sistem parlementer dalam pemerintahan sebagai
bentuk terjemahan dalam menyalurkan kekuatan politik sebagai prosedur
demokrasi.
Namun perlu diingat bahwa ternyata bangsa
Indonesia memiliki pengalaman yang buruk dengan sistem Parlementer. Realitas kondisi sosial politik serta keadaan
geografis yang ada justru membutuhkan sebuah sistem pemerintahan yang kuat dan
stabil. Jika pada masa orde baru, pemerintahan presidensil Indonesia sangat
otoriter dengan konsep executive heavy.
Maka dengan adanya perubahan terhadap Undang-Undanga Dasar 1945 hal
tersebut tidak lagi menjadi masalah. Karena telah diadakan perubahan yang
sangat radikal terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia. Sistem presidensil
justru dipertegas untuk lebih menjamin stabilitas pemerintahan. Sistem ini juga
dapat dipraktekkan dengan tetap menerapkan sistem multi-partai untuk
mengakomodasi peta konfigurasi politik yang ada serta dikawal dengan prinsip
konstitusional guna mengurangi dampak negatif dari sistem presidensil.
Dalam sistem presidensil, presiden dan
wakil presiden merupakan satu intitusi penyelenggara kekuasaan eksekutif negara
yang tertinggi di bawah Undang-Undang Dasar. Sistem presidensil tidak mengenal
dan tidak perlu dibedakan adanya kepala negara dan kepala pemerintahan.
Presiden dan Wakil Presiden di pilih
secara langsung, dan karena itu secara politik tidak bertanggung jawab kepada
Majelis Permusyawaratan Rakyat, melainkan bertanggung jawab langsung kepada
rakyat yang memilihnya. Pada Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 6A ayat (1)
menyebutkan bahwa : “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan
secara langsung oleh rakyat “.
Presiden dan Wakil Presiden dapat
dimintakan pertangungjawabannya secara hukum apabila Presiden dan/atau Wakil
Presiden melakukan pelanggaran hukum dan konstitusi. Dalam hal demikian,
Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat dituntut pertanggungjawaban oleh Dewan
Perwakilan Rakyat untuk disidangkan dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat, yaitu
sidang gabungan antara Dewan Perwakilan
Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah, menurut prosedur hukum tata negara.
Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 7A yang menyebutkan bahwa
:
“Presiden dan Wakil Presiden dapat
diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas
usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran
hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana
berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan /atau Wakil Presiden”.
Jika terjadi kekosongan dalam jabatan
Presiden atau Wakil Presiden pengisiannya dapat dilakukan melalui pemilihan
dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat. Namun hal ini tidak mengubah
prinsip pertanggungjawaban Presiden kepada rakyat dan tidak kepada parlemen.
Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 8 ayat (2) dan (3).
Para Menteri adalah pembantu Presiden dan
Wakil Presiden. Menteri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, dan karena
itu bertanggungjawab kepada Presiden tidak kepada parlemen. Namun, pentingnya
kedudukan para Menteri tersebut maka dalam hal mengangkat Menteri Presiden
harus memperhatikan pendapat Dewan Perwakilan Rakyat. Bahkan dalam hal
penyusunan kabinet dan jumlah menteri yang diangkat, karena berkaitan dengan
Anggaran Pendapat dan Belanja Negara.
Untuk membatasi kekuasaan Presiden yang
kedudukannya dalam sistem presidensil sangat kuat sesuai dengan kebutuhan untuk
menjamin stabilitas pemerintahan, ditentukan pula bahwa masa jabatan Presiden
lima tahunan tidak boleh dijabat oleh orang yang sama lebih dari dua masa
jabatan. Meskipun pada prakteknya masih ada kecenderungan negara Indonesia
menerapkan beberapa hal yang berciri sistem pemerintahan parlementer, namun
secara umum jika melihat apa yang ditur dalam UUD1945 maka dapat disimpulkan
bahwa Indonesia menganut sistem pemerintahan Presidensil.
2.
Sistem Pemerintahan Jepang
Salah satu hal yang menjadi ciri khas negara
yang menganut sistem pemerintahan Parlementer adalah apabila Kepala
Pemerintahan negara tersebut dipilih oleh Parlemen dan bertanggung jawab
langsung kepada Parlemen, serta adanya pemisahan yang tegas antara kepala
negara dan kepala pemerintahan. Hal ini senada dengan apa yang diterapkan di
Jepang. Seperti yang diatur dalam konstitusi Jepang pada CHAPTER I. THE EMPEROR Article 1, Article 4 ayat (1) dan Article 66
ayat (1) yaitu :
Article 1
The Emperor shall be the symbol
of the State and of the unity of the people, deriving his position from the
will of the people with whom resides sovereign power.
Article 4
1. The
Emperor shall perform only such acts in matters of state as are provided for in
the Constitution and he shall not have powers related to government.
Article 6
1.
The Emperor shall appoint the Prime Minister as
designated by the Diet.
2.
The Emperor shall appoint the Chief Judge of
the Supreme Court as designated by the Cabinet.
Article 66
1. The
Cabinet shall consist of the Prime Minister, who shall be its head, and other
Ministers of State, as provided for by law.
Bahwa Kaisar
adalah simbol negara dan kesatuan rakyat, yang kedudukannya berasal dari rakyat
dimana kekuasaan kedaulatan itu berasal dari rakyat. Bahwa Kaisar hanya akan melakukan tindakan sebagaimana yang diatur dalam
Konstitusi dan ia tidak akan memiliki kekuasaan yang terkait dengan pemerintah.
Kaisar akan mengangkat Perdana Menteri yang ditunjuk oleh Diet
(Parlemen). Kaisar harus menunjuk Hakim Ketua Mahkamah Agung yang ditetapkan
oleh Kabinet.
Bahwa Kabinet terdiri dari Perdana Menteri, yang akan menjadi kepala, dan Menteri Negara, sebagaimana ditentukan oleh hukum.
Bahwa Kabinet terdiri dari Perdana Menteri, yang akan menjadi kepala, dan Menteri Negara, sebagaimana ditentukan oleh hukum.
Selanjutnya juga ditentukan bahwa Perdana Menteri
Jepang merupakan anggota Parlemen yang
kemudian memenangkan pemilihan di Parlemen. Menteri-menteri diangkat oleh
Perdana menteri yang kemudian menyatu dalam Kabinet. Kabinet ini bertanggung
jawab kepada Parlemen. Menteri-menteri yang diangkat oleh Perdana Menteri
biasanya kebanyakan berasal dari anggota parlemen, namun dapat berasal dari
luar Parlemen. Sebagaimana diatur dalam Article 66 ayat (3) dan Artile 67 ayat
(1), serta Article 68 ayat (1), ayat (2) dan (3) Konsitusi Jepang, yaitu :
Article 66
The
Cabinet, in the exercise of executive power, shall be collectively responsible
to the Diet.
Article 67
1.
The Prime Minister shall be designated from
among the members of the Diet by a resolution of the Diet. This designation
shall precede all other business.
Article 68
1.
The Prime Minister shall appoint the Ministers
of State.
2.
However, a majority of their number must be
chosen from among the members of the Diet.
3.
The Prime Minister may remove the Ministers of
State as he chooses.
Kemungkinan
krisis kabinet diatur dalam Undang-Undang Dasar, dalam hal mana terdapat dua
kemungkinan, yaitu kabinet mengundurkan diri atau Dewan Perwakilan Rakyat
dibubarkan. Apabila Dewan Perwakilan Rakyat mengajukan mosi tidak percaya
terhadap kabinet atau menolak mosi kepercayaan yang diberikan kepadanya, maka
kabinet seluruhnya harus mengundurkan diri, kecuali jika Dewan Perwakilan
Rakyat dibubarkan dalam waktu 10 hari. Hal ini sesuai dengan Article 69 Konstitusi
Jepang yaitu :
Article 69
If the House of Representatives passes a
non-confidence resolution, or rejects a confidence resolution, the Cabinet
shall resign en masse, unless the House of Representatives is dissolved within
ten (10) days.
Keberadaan
Kaisar dalam struktur kekuasaan tetap diakui, namun Kaisar hanya dapat
bertindak sesuai dengan nasehat dan dengan persetujuan kabinet, serta meliputi
hal-hal yang diatur dalam Undang-Undang Dasar. Kaisartidak memiliki kekuasaan
yang bersangkut paut dengan Pemerintahan. Sesuai dengan Pasal Article 1,
Article 3 dan Article 4 Konstitusi Jepang.
F.
Perbandingan Bentuk Parlemen Indonesia dan Jepang.
1.
Bentuk Parlemen Indonesia
Ada tiga konsep
yang diadopsi dalam perubahan UUD 1945 yang sangat erat hubungannya dengan
keberadaan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Pertama, pemisahan kekuasaan
secara tegas dari cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan judikatif. Kedua,
pemilihan Presiden secara langsung yang akan berkaitan dengan konsep
pertanggungjawaban Presiden langsung kepada rakyat. Ketiga, restrukturisasi parlemen menjadi
dua kamar (bicameral) dalam rangka menampung aspirasi daerah-daerah yang terus
berkembang menjadi makin otonom di masa mendatang.
Dengan
diterimanya ketiga gagasan tersebut menjadi bagian dari materi UUD, maka tidak
dapat lagi dipertahankan bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah lembaga
tertinggi. Hanya saja MPR tetap merupakan sebuah institusi tersendiri selain
DPR dan DPD. Hal ini ditandai dengan kewenangannya seperti mengubah UUD, memilih
Presiden dan/atau Wakil Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Presiden
dan/atau Wakil Presiden, melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden, serta
kewenangan memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD.
Pada pokoknya, kedaulatan rakyat Indonesia
disalurkan sebagaimana mestinya melalui lembaga parlemen yang terdiri atas
Majelis Permusyawaratan Rakyat yang terdiri atas anggota Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD, dan DPR serta DPD itu sendiri.
Setelah perubahan Undang-Undang Dasar 1945
yang ketiga, parlemen Indonesia mengadopsi sistem yang berbentuk dua kamar yang
ditandai dengan dibentuknya Dewan Perwakilan Daerah. Ketentuan mengenai
Dewan Perwakilan Daerah diatur dalam Pasal 22C dan 22D, sedangkan ketentuan
mengenai Dewan Perwakilan Rakyat diatur dalam Pasal 20. Keduanya secara
bersama-sama dapat disebut sebagai Majelis Perwakilan Rakyat.
Perbedaan
keduanya terletak pada hakikat kepentingan yang diwakilinya masing-masing.
Dewan Perwakilan Rakyat dimaksudkan untuk mewakili rakayat, sedangkan Deawan
Perwakilan Daerah dimaksudkan untuk mewakili daerah-daerah.
Jika kita
menelaah dengan cermat hasil perubahan UUD 1945 yang ketiga, maka kita akan
menemukan bahwa pada sistem parlemen Indonesia menggunakan konsep Soft
Bicameralism. Hal ini melenceng dari kecenderungan yang berkembang di dunia
secara umum. Kebanyakan negara yang menggunakan sistem dua kamar lebih
menerapkan konsep Strong Bicameral. Hal ini berarti bahwa ada
keseimbangan kekuatan antara kedua kamar. Namun di Indonesia Dewan Perwakilam
Rakyat memiliki kekuasaan yang sangat dominan dibanding Dewan Perwakilan
Daerah. Dalam Pasal 22D ayat
(1), (2) dan (3) dinyatakan :
a. Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan
kepada DPR rancangan Undang- Undang yang berkaitan dengan otonomi daerah,
hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang
berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
b.
Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan
Undang Undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah;
pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daeara; pengelolaan sumber daya alam,
sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan pusat dan daerah, serta memberikan
pertimbangan kepada DPR atas rancangan Undang-Undang anggaran pendapatan dan
belanja negara, dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak,
pendidikan dan agama.
c. Dewan
Perwakilan Daerah dapat melalukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang
mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah,
hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan
dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada DPR sebagai bahan
pertimbangan untuk ditindaklanjuti.
Dengan ketentuan demikian, jelas bahwa kewenangan Dewan Perwakilan
Daerah bersifat terbatas. Dalam kaitannya dengan fungsi legislasi, misalnya,
Dewan Perwakilan Daerah hanya memberikan
pertimbangan terhadap Dewan Perwakilan Rakyat sebagai pemegang kekuasaan legislatif
yang sesungguhnya. Seperti ditentukan dalam Pasal 22C ayat (2) Perubahan Ketiga
UUD 1945, jumlah anggota Dewan Perwakilan Daerah itu hanya sepertiga jumlah anggota Dewan Perwakilan
Rakyat
Dewan Perwakilan Rakyat diatur dalam Bab VII Pasal 19, Pasal 20, Pasal
21 dan Pasal 22 UUD 1945. Pasal 19 ayat (1) Anggota Dewan Perwakioan Rakyat
dipilih melalui pemilihan umum. (2) Susunan Dewan Perwakilan Rakyat diatur
dengan undang-undang. (3) Dewan Perwakilan Rakyat bersidang sedikitnya sekali
dalam setahun. Selanjutnya
dalam Pasal 20 disebutkan :
(1) Dewan Perwakilan Rakyat memegang
kekuasaan membetuk undang-undang
(2) Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh
Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.
(3) Jika rancangan undang-undang itu tidak
mendapat persetujuan bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan
lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu
(4) Presiden mengesahkan rancangan undang-undang
yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu
tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan
undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.
Selain itu, dalam perubahan Kedua UUD 1945, ditambahkan lagi
ketentuan Pasal 20A yang berisi 4 ayat sebagai berikut :
(1) Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi
legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan.
(2) Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak
yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan
Rakyat mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat.
(3) Selain
hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, setiap anggota
Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampikan usul
dan pendapat, serta hak imunitas.
(4) Ketentuan
lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undag diatur dengan
undang-undang.
Pasal 21 ayat (1) disebutkan bahwa :
“Anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan usul rancangan
undang-undang”. Kemudian dalam ayat (2) Pasal ini disebutkan bahwa : “ Jika
rancangan undang-undang itu, meskipun disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat,
tidak disahkan oleh Presiden, maka rancangan tadi tidak boleh dimajukan lagi
dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu”. Pasal 28B disebutkan bahwa “ Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat dapat diberhentikan dari jabatannya, yang syarat-syarat dan
tata caranya diatur dalam undang-undang”.
Di antara
perubahan-perubahan penting dalam rumusan-rumusan tersebut di atas adalah
terjadinya pergeseran mendasar dalam fungsi legislasi dari tangan Presiden ke
tangan DPR.
2. Bentuk Parlemen Jepang
Parlemen di Jepang terdiri dari dua kamar yaitu Dewan Perwakilan Rakyat dan
Dewan Negara. Keduanya adalah badan kekuasaan negara yang tertinggi dan menjadi
badan negara satu-satunya yang berhak membuat undang-undang. Kedua kamar
tersebut terdiri atas anggota-anggota yang dipilh dan yang mewakili segenap
rakyat. Jumlah masing-masing kamar, demikianl pula dengan syarat-syarat
keanggotaan ditetapkan dengan
undang-undang. Syarat-syarat itu tidak mengadakan perbedaan-perbedaan
berdasarkan jenis bangsa, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan dalam
masyarakat, keluarga dari mana seseorang berasal, pendidikan, kekayaan, ataupun
penghasilan. Hal ini diatur dalam Pasal 41, 42, 43, dan 44 konstitusi Jepang
yaitu :
Article 41
The Diet shall be the highest organ of state power, and shall be the sole
law-making organ of the State.
Article 42
The Diet shall consist of two Houses, namely the House of Representatives
and the House of Councilors.
Article 43
1. Both Houses shall consist of elected members,
representative of all the people.
2.
The number
of the members of each House shall be fixed by law.
Article 44
The qualifications of members of both Houses and their electors shall be
fixed by law. However, there shall be no discrimination because of race, creed,
sex, social status, family origin, education, property or income.
Jika
Dewan Perwakilan Rakyat dibubarkan maka dalam waktu 40 hari setelah pembubaran
itu harus diadakan pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat
yang baru. Dan parlemen harus dapat dikumpulkan dalm waktu 30 hari mulai
diadakan pemilihan umum. Selama Dewan Perwakilan Rakyat dibubarkan, Dewan
Negara ditutup. Tetapi dalam keadaan darurat Kabinet boleh memanggil Dewan
Negara dalam sidang darurat. Keputusan-keputusan yang diambil dalam sidang
tersebut bersidfat sementara, dan akan kehilangan kekuasaannya, jika lalu
mendapat persetujuan Dewan Perwakilanm Rakyat ( setelah terbentuk) dalam waktu
10 hari setelah sidang Parlemen berikutnya dibuka. Hal ini sesuai dengan
Undang-Undang Dasar Jepang. Sebagaimana diatur dalam Article 54 :
Article 54
1.
When the
House of Representatives is dissolved, there must be a general election of
members of the House of Representatives within forty (40) days from the date of
dissolution, and the Diet must be convoked within thirty (30) days from the
date of the election.
2.
When the
House of Representatives is dissolved, the House of Councillors is closed at
the same time. However, the Cabinet may in time of national emergency convoke
the House of Councillors in emergency session.
3.
Measures
taken at such session as mentioned in the proviso of the preceding paragraph
shall be provisional and shall become null and void unless agreed to by the
House of Representatives within a period of ten (10) days after the opening of
the next session of the Diet.
Tiap Kamar mengadili
sendiri perselisihan-perselisihan mengenai syarat-syarat keanggotaan. Untuk
menyatakan tidak sahnya keanggotaan seorang anggota harus disetujui
sekurang-kurangnya dua pertiga jumlah anggota yang hadir. Setiap masalah hanya
dapat diputuskan dalam masing-masing Kamar oleh suara terbanyak anggota yang
hadir, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang Dasar. Apabila suara terbagi
sama berat, ketua memberi keputusan terakhir. Hal ini diatur dalam Article 55
dan Article 56 ayat (1) dan ayat (2) :
Article 55
Each House shall judge disputes related to
qualifications of its members. However, in order to deny a seat to any member,
it is necessary to pass a resolution by a majority of two-thirds or more of the
members present.
Article 56
1. Business cannot be transacted in either House
unless one-third or more of total membership is present.
2. All matters shall be decided, in each House, by
a majority of those present, except as elsewhere provided in the Constitution,
and in case of a tie, the presiding officer shall decide the issue.
Rencana
undang-undang menjadi undang-undang jika diterima oleh kedua kamar, kecuali
jika dalam Undang-Undang Dasar ditentukan lain. Apabila Rencana undang-undang
yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat, tetapi Dewan Negara mengambil
keputusan yang berbeda maka rencana undang-undang tersebut dapat menjadi
undang-undang jika kembali disidangkan dalam Dewan Perwakilan Rakyat untuk
kedua kalinya dan disetujui oleh dua pertiga jumlah anggota yang hadir. tetapi
ketentuan ini tidak menghalangi Dewan Perwakilan Rakyat untuk membentuk Panitia
Bersama dari dua kamar guna menyelesaikan perbedaan pendapat. Apabila Dewan
Negara tidak mengambil keputusan dalam waktu 60 hari setelah menerima rancangan
undang-undang yang telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat ( waktu selama
reses tidak diperhitungkan ), maka Dewan Perwakilan Rakyat dapat menganggap
bahwa rencana undang-undang tersebut telah ditolak oleh Dewan Negara. Sesuai
dengan Article 59 ayat (1), (2), (3) dan ayat (4).
Article 59
1.
A bill
becomes a law on passage by both Houses, except as otherwise provided by the
Constitution.
2.
A bill
which is passed by the House of Representatives, and upon which the House of
Councillors makes a decision different from that of the House of
Representatives, becomes a law when passed a second time by the House of
Representatives by a majority of two-thirds or more of the members present.
3.
The
provision of the preceding paragraph does not preclude the House of
Representatives from calling for the meeting of a joint committee of both Houses,
provided for by law.
4.
Failure by
the House of Councillors to take final action within sixty (60) days after
receipt of a bill passed by the House of Representatives, time in recess
excepted, may be determined by the House of Representatives to constitute a
rejection of the said bill by the House of Councillors.
Pada
Article 73 Konstitusi Jepang dinyatakan bahwa Anggaran Belanja Negara setelah
direncanakan oleh kabinet harus terlebih dahulu diajukan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat. Apabila mengenai Anggaran Belanja tersebut Dewan Negara
mengabil keputusan yang berbeda dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan tidak
ditemukan kesesuaian mesekipun dengan jalan penbentukan panitia bersama maka
keputusan Dewan Perwakilan Rakyat ( menerima ataupun menolak ) dianggap sebagai
keputusan Parlemen. Jika Dewan Perwakilan Rakyat menerima rencana anggaran
belanja yang diajukan kabinet sedangkan Dewan Negara tidak dapat mengambil
keputusan dalam waktu 30 hari (tidak terhitung masa reses ) maka dianggap
menjadi keputusan Parlemen. Ketentuan
ini juga berlaku untuk setiap perjanjian-perjanjian negara. Setiap kamar berhak
mengadakan penyelidikan terhadap pemerintahan
dan berhak menghadirkan saksi-saksi.
Perdana
Menteri dan Menteri meskipun ia anggota
perlemen atau tidak setiap waktu dapat hadir untuk berbicara disetiap kamar mengenai rencana
undang-undang. Jika diminta maka mereka harus hadir yaitu untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan dan memberikan penjelasan.
Parlemen
akan membentuk suatu mahkamah yang terdiri atas anggota anggota kedua kamar,
yaitu untuk memeriksa hakim-hakim yang terhadap mereka diajukan tuntutan
pemecatan.
G. Perbandingan Ketentuan Mengenai Kekuasaan Kehakiman
1. Struktur Kekuasaan Kehakiman di Indonesia
Perubahan UUD 1945 juga menyentuh
ketentuan-ketentuan yang menyangkut kekuasaan kehakiman. Bahkan hasil perubahan
tersebut telah melahirkan dua lembaga negara baru yang berada dalam ranah
kekuasaan kehakiman. Maka selain Mahkamah Agung, juga telah ada Mahkamah
Konstitusi dan Komisi Yudisial.
Perubahan itu dimaksudkan untuk memperkuat kekuasaan kehakiman dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia sebagai salah satu perwujudan ketentuan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang menyatakan Indonesia adalah
negara hukum. Pada BAB IX Pasal 24 disebutkan sebagai berikut :
(1)
Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan
yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan.
(2)
Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan
peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
lingkungan tata usaha neagra, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
(3)
Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan
dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang.
Kewenangan Mahkamah Agung diatur dalam
Pasal 24A ayat (1) yang juga merupakan hasil perubahan UUD 1945, hal ini
dilakukan atas pertimbangan untuk memberikan jaminan konstitusional yang lebih
kuta terhadap kewenangan dan kinerja Mahkamah Agung. Kewenangan Mahkahamah
Agung tersebut adalah :
1) Mengadili pada tingkat kasasi
2) Menguji peraturan perundang-undangan di
bawah undang-undang terhadap undang-undang.
3) Wewenang lainnya yang diberikan oleh
undang-undang.
Kewenangan Komisi
Yudisial diatur dalam Pasal 24B ayat (1) yaitu :
”Komisi
Yudisial mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan
mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat, serta perilaku hakim”
Adanya ketentuan ini berangkat dari
gagasan bahwa sebagai negara hukum, masalah kehormatan hakim agung yang duduk
di MA dan para hakim merupakan figur yang sangat menentukan dalam perjuangan
menegakkan hukum dan keadilan.
Ide pembentukan MK mendapat respon positif dan menjadi salah
satu materi perubahan UUD yang diputuskan oleh MPR. Setelah melalui proses
pembahasan yang mendalam, cermat, dan demokrasi akhirnya ide Mahkamah Konstitusi
menjadi kenyataan dengan disahkannya Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24C UUD 1945.
Mengenai tugas dan wewenang Mahkamah Konstitusi diatur dalam Pasal 24C ayat (1)
dan ayat (2) yaitu :
(1) Mahkamah
Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan
oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
(2) Mahkamah
Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat
mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut
Undang-Undang Dasar.
2. Struktur Kekuasaan Kehakiman di Jepang
Pada
konstitusi Jepang, ketentuan mengenai kekusaan kehakiman hanya terletak pada
Mahkamah Agung dan pengadilan yang lebih rendah sebagai diatur dalam hukum.
Jadi tidak ada lembaga khusus untuk pengadilan konstitusional seperti Mahkamah
Konstitusi di Indonesia. Karena wewenang untuk melakukan pengujian secara
konstitusional juga ada pada Mahkamah Agung. Hal ini dapat kita lihat pada CHAPTER VI. JUDICIARY
Article 76 dan Article 81:
Article 76
1. The whole judical power is vested in a Supreme
Court and in such inferior courts as are established by law.
2. No extraordinary tribunal shall be established,
nor shall any organ or agency of the Executive be given final judicial power.
3. All judges shall be independent in the exercise
of their conscience and shall be bound only by this Constitution and the laws.
Article 81
The Supreme Court is the court of last resort with power to determine the
constitutionality of any law, order, regulation or official act.
Kemudian untuk wewenang pengangkatan terhadap
hakim agung pada Konstitusi Jepang justru diberikan kepada pihak Kabinet dan
ditinjau setiap 10 tahun oleh DPR, hal ini dapat dilihat pada Article 79 ayat (1)
ayat (2) dan ayat (3) :
1. The
Supreme Court shall consist of a Chief Judge and such number of judges as may
be determined by law; all such judges excepting the Chief Judge shall be
appointed by the Cabinet.
2. The
appointment of the judges of the Supreme Court shall be reviewed by the people
at the first general election of members of the House of Representatives
following their appointment, and shall be reviewed again at the first general
election of members of the House of Representatives after a lapse of ten (10)
years, and in the same manner thereafter.
3. In
cases mentioned in the foregoing paragraph, when the majority of the voters
favors the dismissal of a judge, he shall be dismissed.
H. Perbandingan Mengenai Pengaturan HAM serta Hubungan Rakyat dan Penguasa.
1. Indonesia
Dalam UUD 1945 ketentuan mengenai Hak Asasi
Manusia diatur dengan sangat jelas dan tegas. Ketentuan ini merupakan salah
satu hasil perubahan yang telah dilaksanakan sebanyak empat kali. Pengaturan
mengenai Hak Asai Manusia dalam Konstitusi Indonesia telah tempatkan secara
khusus dalam BAB XA yang terdiri dari 10 pasal, yaitu Pasal 28A sampai dengan
Pasal 28 J. Rumusan HAM yang masuk dalah UUD 1945 dapat dibagi dalam beberapa
aspek, yaitu :
- HAM berkaitan dengan hidup dan kehidupan
- HAM berkaitan dengan keluarga
- HAM berkaitan dengan pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi;
- HAM berkaitan dengan pekerjaan;
- HAM berkaitan dengan kebebasan beragma dan meyakini kepercayaan, kebebasan bersikap, berpendapat dan berserikat;
- HAM berkaitan dengan informasi dan komunikasi;
- HAM berkaitan dengan rasa aman dan perlindungan dari perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat manusia;
- HAM berkaitan dengan kesejahteraan sosial;
- HAM berkaitan dengan persamaan dan keadilan;
- HAM berkewajiban menghargai hak orang dan pihak lain.
2. Jepang
Pada konstitusi Jepang, ketentuan mengenai
hubungan antara rakyat dan penguasa serta Hak Asasi Manusia juga diatur
tersendiri dalam CHAPTER III. RIGHTS AND DUTIES OF THE PEOPLE (hak dan kewajiban rakyat).
Pengaturan mengenai Hak Asasi Manusia dalam Kosntitusi Jepang diatur dalam 30
Pasal. Dimana hampir seluruh rumusan yang dalam pasal-pasal tersebut tidak jauh
berbeda dengan apa yang diatur dalam UUD 1945 pada BAB XA mengenai Hak Asasi
Manusia. Pada Kosntitusi Jepang juga disebutkan adanya jaminan secara
konstitusional tentang HAM. Hal ini dapat secara jelas kita lihat pada Article
11 dan Article 12 Kontitusi Jepang, yaitu :
Article 11
The people shall not be prevented from enjoying any of the fundamental
human rights. These fundamental human rights guaranteed to the people by this
Constitution shall be conferred upon the people of this and future generations
as eternal and inviolate rights.
Article 12
The freedoms and rights guaranteed to the people by this Constitution shall
be maintained by the constant endeavor of the people, who shall refrain from
any abuse of these freedoms and rights and shall always be responsible for
utilizing them for the public welfare.
Bahwa Orang-orang tidak akan dicegah
dari menikmati hak-hak asasi manusia. Hak-hak asasi manusia dijamin rakyat
dengan Konstitusi, jaminan ini harus diberikan pada setiap dan generasi
mendatang sebagai hak abadi dan terhormat. Kebebasan dan hak rakyat dijamin
oleh Konstitusi ini harus dipelihara oleh upaya konstan rakyat, yang harus
mencegah adanya penyalahgunaan kebebasan dan hak-hak ini dan selalu bertanggung
jawab untuk memanfaatkan mereka untuk kesejahteraan masyarakat.
I. Perbandingan Ketentuan Mengenai Hubungan Alam dan Negara
I. Perbandingan Ketentuan Mengenai Hubungan Alam dan Negara
Ketentuan mengenai hubungan alam dan negara
sebagai salah satu tipologi konsitusi ditentuka secara jelas oleh UUD 1945,
tepatnya pada pasal 33 ayat (3) yaitu : ”Bumi
air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Ketentuan ini menunjukan bahwa negara
Indonesia adalah negara yang bertujuan mencapai kesejahteraan dalam bingkai modern walfare state. Bahwa segala
unsur-unsur penting yang merupakan prasyarat untuk mencapai tujuan negara
sejahtera harus dikuasai oleh negara. Sedangkan pada Konstitusi Jepang,
ketentuan mengenai Alam dan Negara tidak disebutkan secara jelas.
J. Perbandingan Ketentuan Mengenai Perubahan Konstitusi (Amademen)
Dalam UUD 1945 ketentuan mengenai syarat untuk
mengadakan perubahan UUD diatur secara tegas dalam BAB XVI PERUBAHAN UNDANG-UNDANG
DASAR, Pasal 37 Ayat (1), (2), (3), (4) dan ayat (5) :
- Usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar dapat di agendakan dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakayat apabila di ajukan sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
- Setiap usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar diajukan secara tertulis dan diajukkan dengan jelas bagian yang di usulkan untuk diubah beserta alasannya
- Untuk mengubah Pasal-pasal Undang-Undang Dasar, Sidang Majelis Permusyawaraan Rakyat di hadiri sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
- Putusan untuk mengubah pasal-pasal Undan-Undang Dasar dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya limah puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
- Khusus mengenai betuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan.
Ketentuan tersebut di atas merupakan hasil
perubahan yang telah dilaksanakan sebanyak empat kali sejak tahun 1999. Dimana
sebelumnya dimasa orde baru, setiap upaya yang coba dilakukan untuk dilakukan
untuk mendorong perubahan UUD 1945 dipandang sebagai hal yang tabuh dan tidak
boleh dilakukan. Namun gerakan reformasi di tahun 1998 yang dipelopori oleh
para mahasiswa dan pemuda telah meruntuhkan kesakralan UUD 1945 sebagai
konstitusi yang tidak boleh disentuh dengan agenda perubahan. Bahkan hasil
perubahan tersebut dipandang sebagai sebuah perubahan yang radikal khususnya
pada sistem ketatanegaraan Indonesia.
Pada
negara Jepang Inisiatif perubahan Konstitusi ada pada parlemen, ditentukan
dengan sekurang-kurangnya dua pertiga jumlah anggota tiap kamar. Kemudian
diserahkan kepada rakyat untuk diratifikasi yang dilakukan dalam referendum
khusus atau dalam pemihan yang oleh Parlemen. Untuk ratifikasi tersebut
diperlukan persetujuan jumlah terbanyak dari suara-suara yang masuk. Perubahan
yang telah diratifikasi tersebut harus diundangkan oleh Kaisar sebagai bagian
yang tak terpisahkan dari Konstitusi. Hal ini diatur dalam CHAPTER IX.
AMENDMENTS
Article 96
- Amendments to this Constitution shall be initiated by the Diet, through a concurring vote of two-thirds or more of all the members of each House and shall thereupon be submitted to the people for ratification, which shall require the affirmative vote of a majority of all votes cast thereon, at a special referendum or at such election as the Diet shall specify.
- Amendments when so ratified shall immediately be promulgated by the Emperor in the name of the people, as an integral part of this Constitution.
BAB III
Kesimpulan
Dengan membandingkan Konstitusi kedua negara tersebut kita dapat
melihat bahwa terdapat perbedaan yang cukup besar. Hal ini tidak pernah lepas dari pengaruh kondisi
sosial, budaya, sejarah, ekonomi serta tentunya konfigurasi politik yang ada
pada masing-masing negara.
Perbedaaan yang dapat kita lihat adalah pertama, Jepang
menggunakan sistem pemerintahan parlementer sedangkan Indonesia menggunakan
sistem pemerintahan Presidensil, kedua, Jepang menerapkan sistem strong bicameral (dua kamar yang kuat)
terhadap struktur parlemennya sedangkan Indonesia menggunakan sistem soft bicameral (kekuatan dua kamar tidak
seimbang), ketiga, kedua negara adalah negara kesatuan yang memiliki
penerapan otonomi daerah yang hampir sama. Keempat, pada struktur kekuasaan kehakiman terdapat perbedaan yang cukup besar,
di Indonesia selain Mahkamah Agung juga terdapat Mahkamah Konstitusi yang
bertanggung jawab menjaga tegaknya konstitusi dan Komisi Judisial yang bertanggung
jawab menyeleksi serta menjaga harkat dan martabat hakim. Sedangkan pada negara
Jepang kekuasaan kehakiman hanya dilaksanakan oleh satu lembaga yaitu Mahkamah
Agung, dimana wewenang untuk mengadakan pengujian secara konstitusional
terhadap undang-undang juga dilaksanakan oleh Mahkama Agung. Hanya saja
pengangkatan dan pengawasan hakim di Jepang dilaksanakan oleh pihak kabinet dan
parlemen. Kelima, perbandingan ketentuan mengenai hak asasi manusia
antara Indonesia dan Jepang tidak terdapat perbedaan yang signifikan, kedua
negara mengatur secara tegas mengenai hak asasi manusia dalam konstitusinya.
Keenam, perbandingan ketentuan mengenai hubungan alam
dan negara, dapat dilihat bahwa Indonesia mengatur secara jelas dalam
Konstitusinya mengenai kedudukan negara dalam penguasaan terhadap alam yang
diarahkan untuk kesejahteraan rakyat, namun pada Konstitusi Jepang hal ini
tidak diatur secara jelas. Ketujuh, mengenai mekanisme
perubahan konstitusi, di Indonesia ditentukan bahwa perubahan terhadap konstitusi
menjadi kewenangan MPR, dengan syarat diajukan oleh sekurang-kurangnya
sepertiga jumlah anggota MPR serta disetujui oleh sekurang-kurangnya lima puluh
persen ditambah satu, dimana sidang persetujuan tersebut dihadiri
sekurang-kurangnya dua pertiga anggota MPR. Sedangkan pada Konstitusi Jepang
ditentukan bahwa, Inisiatif perubahan Konstitusi ada pada parlemen, ditentukan
dengan sekurang-kurangnya dua pertiga jumlah anggota tiap kamar. Kemudian
diserahkan kepada rakyat untuk diratifikasi yang dilakukan dalam referendum
khusus atau dalam pemihan yang oleh Parlemen. Untuk ratifikasi tersebut
diperlukan persetujuan jumlah terbanyak dari suara-suara yang masuk. Perubahan
yang telah diratifikasi tersebut harus diundangkan oleh Kaisar sebagai bagian
yang tak terpisahkan dari Konstitusi.
DAFTAR PUSTAKA
Asshiddiqie Jimly, 2005, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Konstitusi Press,
Jakarta
Asshiddiqie Jimly, 2005, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Konstitusi Press, Jakarta
Asshiddiqie Jimly, 2005, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945,
FH-UII Press, Yogyakarta
Asshiddiqie Jimly, 2007, Pokok-Pokok Hukum Tata
Negara Indonesia Pasca Reformasi, PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta
Asshiddiqie Jimly, 2007, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca
Reformasi, Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta
Dewan
Perwakilan Daerah RI, 2007, Untuk Apa DPD
RI, Kelompok DPD DI MPR RI, Jakarta
Dwi Purnomowati, Reni, 2005, Implementasi Sistem Bicameral dalam Parlemen Indonesia, PT. KaisarGrafindo
Persada, Jakarta
Forum Masyarakat Peduli Parlemen (FORMAPPI), 2005, Lembaga Perwakilan Rakyat Indonesia, Studi
dan Analisis Sebelum dan Sesudah Perubahan UUD 1945, FORMAPPI dan Australian
Government, AusAID, Jakarta
Hamidi Jazim & Malik, 2009, Hukum Perbandingan Konstitusi, Prestasi Pustaka, Jakarta.
Held,
David, 2006, Models Of Democracy,
Akbar Tandjung Institute, Jakarta
Held,
David, 2004, Demokrasi & Tatanan
Global, Dari Negara Modern hingga Pemerintahan Kosmopolitan, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta
Huda, Ni’matul, 2005, Hukum Tata Negara Indonesia, PT. KaisarGrafindo
Persada, Jakarta
Strong, C.F, 2004, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern, Nuansa dan Nusamedia, Bandung
Huntington, Samuel P., 2001, Gelombang Demokratisasi Ketiga, Grafiti, Jakarta
Kurde, Arfawie Nukthoh, 2005, Telaah Kritis Teori Negara Hukum, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Mahfud MD, Moh, 2006, Politik Hukum Di Indonesia, LP3ES, Jakarta
Manan Bagir, 2006, Konvensi Ketatanegaraan, FH-UII Press, Yogyakarta
Nurtjahjo,
Hendra, 2006, Filsafat Demokrasi, PT.
Bumi Aksara, Jakarta
MPR RI,
2006, Materi Sosialisasi Undang Undang Dasar
Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945, Sekretariat Jenderal MPR RI
Rahman Daeng Naja, Hasanuddin, 2004, Dewan Perwakilan Daerah, Bicameral Setengah
Hati, Media Pressindo, Yogyakarta
Republik Indoneisa, 2002, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Citra
Umbara, Bandung
Republik Indonesia, 2003, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003, Tentang Mahkamah
Konstitusi, Citra Umbara, Bandung
Republik Indonesia, 2003, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003, Tentang Susunan
Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD, Focus Media, Bandung
Republik
Indonesia, 2004, Tata Tertib Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Sekretariat Jenderal MPR RI, Jakarta
Republik
Indonesia, 2004, Tata Tertib Dewan
Perwakilan Rakyat, Sekretariat Jenderal DPR RI, Jakarta
Republik
Indonesia, 2004, Tata Tertib Dewan
Perwakilan Daerah, Sekretariat Jenderal DPD RI, Jakarta
Revitch,
Diane & Abigail Thernstrom, 2005, Demokrasi
Klasik & Modern, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta
Rodee,
Carlton Clymer, Dkk, 2006, Pengatar Ilmu
Politik, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta
Rousseau, Jean. Jasques, 1989, Perihal Kontrak Sosial, Dian Rakyat, Jakarta
Soehino, 2000, Ilmu
Negara, Liberty, Yogyakarta
Surbakti, Ramlan, 1992, Memahami Ilmu
Politik, Grasindo, Jakarta
3 comments:
gan boleh izin copas ga untuk tugas
lengkap gan..
sekalian izin copas juga ya..
Gan, postinganya ok banget, ijin kopas ya untuk tugas,
Salam,
Post a Comment